Month: March 2007

Narsisisme Malignan

Satu hal yang menyamakan Osama bin Laden dengan Saddam Husein dari perbedaan-perbedaan antara keduanya adalah gejala kejiwaan narsisisme malignan, setidaknya demikian yang telah dituturkan Metro tv lewat prolog sebuah tayangan The Hunt for Bin Laden.

Malignan adalah suatu keinginan kuat untuk menghancurkan. Di dalam liturgi underground band sifat malignan sudah terpatri dalam jiwa, pikiran, tabiat anarki anak-anak punk dimana kebingungan pikiran (bukan kebuntuhan) serta ketidak aturan pola hidup (chaos) dan perilaku merusak (riot) di picu oleh arogansi sistem dan kebijakan pemerintahan (policy and government’s system).

Kesamaan ketiga model orang tersebut diatas dibangun atas dasar yang sama yaitu pertama sifat bawaan merusak manusia atau potensi jahatnya (evil side), kedua implementasi obsesi pribadi, paham ideologi, dan ketiga adalah respon alami sebagai wujud sikap tegas atas distorsi interaksi yang destruktif.

Bagi ketiga-tiganya tentunya motto extreme condition demands extreme solution sudah menjadi menu harian untuk tidak cuma dilahap tapi juga dimuntahkan dalam tataran konkrit: unjuk gigi (show up), ungkapan kemarahan (state of anger), balas dendam (revenge) yang kesemuanya dikemas dalam pesan singkat: inilah aku! here I am ha ana dza a narcissi!

Narcist?  rasanya kok enggak, bagaimana seorang Bin Laden dengan wajah sendu yang melulu dibasuh air wudhlu (holy water) yang sekali dua kali tayang selebihnya berkhalwat dalam persembunyian atau memacu adrenalin dalam pelarian yang tak bertepi dan berkepanjangan, bisa dikatakan seorang narsis.

Pahamku mengatakatan tidak, kalau para punker yang melawan arus mainstream, bersusah payah menjalani hidup bawah tanah, berpenampilan lusuh, dan meski eksentrik dengan rambut mohawk ataupun chrusti yang menjadi trend centre saat ini dibilang narsis.

Rasionalnya iya, kumis besar, foto nampang dihampir setiap perempatan jalan, nama yang si’i tapi bermadhab sunni siyasi, Saddam Husein boleh disebut narsis (waktu masih hidup) sekarang tak lebih seorang almarhum yang bersih dri narsisisme.

Saya menjadi narsis ketika mengagumi Osama sebagi sosok lain: pure, extreme, fundamental and no compromises yang menempati sisi lain kehidupan, dengan menyandingkan kekaguman terhadap diri pribadi saya yang menempati ruang yang sama dengannya meski dengan skup, kapasitas dan kontek pemahaman yang berbeda, atau menyadari narsisisme sebagai nafsu lawwamah kalau tidak salah, yang ada dibenak ini untuk terus mengeksploitas diri-saya lebih suka mengatakan menelanjangi diri-(versi tukul: menertawakan diri) lewat blog ini untuk kemudian diselimuti dengan tanggapan baik kritik maupun sanjungan atau bahkan di abaikan ignore this shit!

Terlepas malignan apa tidak,sebagai pelaku kehidupan (ismul fa’il) seseorang dalam hidupnya telah dihadapkan dengan dua hal: rusak atau merusak, sebagai perusak (mufsid) atau orang yang rusak (faasid).

Bin Laden tentunya bukan orang yang rusak meski suka merusak.
Saddam Husein pastinya adalah orang yang rusak dimata si’i yang merusak suku Kurdi. (orang rusak yang merusak dan di rusak)

disaster

Bencana
Aku sendiri terjebak dalam kata-kataku yang bikin aku muak. Coretan tentang bencana ini seolah menempatkanku menjadi orang pertama yang merasa menikmati mensyukuri adanya musibah, padahal kalau mau jujur jadi manusia ‘Siapa sih yang mau kena petaka?’

Pertanyaan lumrah lagi logis ini bisa menjadi indikasi ketidaksukaan akan ketetapan Ilahi, tak salah memang jika yang demikian akan memunculkan pertanyaan baru ‘Maunya apa sih Tuhan dengan semua bencana ini?’.

Meski bodoh, pertanyaan diatas aku yakini mewakili hampir semua pikiran orang-orang yang ketar-ketir akan kena musibah dan yang berkeluh kesah komplain dengan kebuntuhan berfikir, menyoal Tuhan mempertanyakan jawaban.

Tolak saja takdir! toh Nabi pun dalam hal ini melarang kita bertawakal berpasrah diri.

Aku menolak curah hujan tinggi di Malang Allahumma Hawalaina wala alaina untuk dipindahkan ke pegunungan bebukitan,perut bumi lembah ngarai, dan hutan belantara. Apa lacur, jangankan belantara, pepohonan di hutanpun telah tiada (yo tetep banjir).

Aku menyesali do’a yang Nabi ajarkan -meski masih sering keprucut aku lantunkan- lebih karena aku menolak jadi pawang hujan ‘reda disini-banjir disana’.

Menjadi asyik dengan bencana merupakan hal sulit untuk disosialisasikan lebih-lebih diterapkan. Tapi tak sedikit orang yang bisa melakukan, semisal bohemian, pegiat sufi, biksu atau orang semacam marlboro man yang mengalir ibarat air sungai, atau seperti seniman tak berkarya sebab dirinya dan kehidupannya cukup sudah jadi maha karya masterpiece. Bahkan bagi seorang penyair, bencana petaka musibah yang merupakan muara derita menjelma menjadi sebuah kebutuhan yang dimutlakkan baginya untuk menulis syair-syairnya, like a poet needs pain, like rose needs rain.

Sesulit apaun menikmati ‘siksa dunia’ yang ada, rasa-rasanya kok kita perlu belajar dan meneladani ‘sisi asyik’ mereka yang cuek dengan derita dunia.

Dance n’ Pray

Let’s dance together
Body and soul
(Melly Guslow)

Get down your knee
And pray
(Frente)
Kalau saja format ritual sholat bisa dikatakan sebagai gerakan tarian, maka Nabi Muhammad adalah seorang koreografer hebat. Sayangnya saksi mata yang telah pada tiada mewariskan ketidakdetilan acuan sehingga ragam gerakan menjadi tidak seragam. Sholluu kama roaitumuunii usholli ‘sholatlah sebagaimana matakamu menyaksikan gerakan sholatku’ bijak Nabi bertutur tidak memaksa orang untuk ‘plek’ mengikuti gerak sholatnya, tapi membiarkan sebatas mata melihat dan menyaksikan. Walhasil, mata dengan min-plusnya mendapat keleluasan mengambil tindakan.

Kebanyakan dan merata, lulusan Mesir pada ogah mengangkat tangan selain Takbiratul Ikram (Tanya kenapa? H.M Sampoerna gak bakal tahu jawabannya) menurutku karena Muawwiyah pernah jadi gubernur disana. Hayoo Lc-Lc Mesir pasti gatal berkomentar. Dan tak sedikit pula imam2 sholat dari kalangan tradisional bangkit Nahdiyiin menjunjung tinggi2 tangan sampai posisi jatuh dibelakang kepala dengan pelafadzan puanjang melebihi standar math Allaaaaaaaaaahu Akbar, lain halnya para ikhwan halaqoh/liqo mengaku menyerah ‘angkat tangan’ pada Tuhan tapi mempercepat gerakan penyerahan atau memperlambat bak tukang parkir yang sedang angkat tangan (Khudori bisa sewot nih, ajak dia gabung, Zon!).

Sekali, waktu sholat terawih, ketepatan berdampingan dengan seorang berwajah lokal, bergamis dan bersorban, saya akui iri melihatnya tapi malu memakainya, menjadi bermasalah sebab ternyata menyita perhatian ketika bertasyahud dia mengacungkan telunjuk jari kirinya, gila ini orang pikirku, jangan2 dia pengagum Elias Pical, kidal!, atau pernah lihat Nabi bertelunjuk dengan jari kirinya, atau bisa jadi ada yang mengajarinya, kira2 imam fiqih mana, ya? kalaupun ada pasti Leftis dia, Che Guevara, kah?

Macam pelajaran apa ini semua?!
Rahasia2 sholat saya tak menemukan kuncinya
Apa tak salah jika kukatakan sholat itu bagian dari ilmu komunikasi
Atau produk komunikasi vertical berimbas horizontal
Atau semacam religious cellular
Ataukah present continuous tense
Tensi waktu yang berlangsung sekarang untuk tidak boleh dilalaikan
Wailul lil musholliin !

Heart

Hati
Bukan sebuah asumsi
Setelah sekian lama, 16 tahun yang lalu Gontor telah memaksaku untuk belajar (saya lebih suka mengatakan ‘menghapal’) kembali, satu dari sekian banyak alumninya ‘memaksaku’ untuk membuka Fathurrahman, swear! seumur-umur baru kali ini saya membukanya, kalo enggak karena ente ‘Ndra yang meminta.
Jadi ingat lagi ujian Fathul Munjid, keparat juga tu Abu Lewis dimana dia naruh kosa kata yang diujikan, setengah jam lamanya saya obok-obok tak kutemukan juga, dasar yahudi pintar! atau ustadz pengujinya saja yang kepintar2an (ana yg goblok) atau Gontornya yang keyahudi2an (dalam berbahasa Gontor merujuk ke yahudi, Munjid sebagai rujukan).
Hati yang dipermasalahkan sebenarnya telah lama menjadi sebuah kesepakatan, jadi mustinya saya gak perlu berhati-hati kalo ngomong soal hati, karena Al-Quran sendiri telah menegaskan, surat Al Haj ayat 46 semestinya jadi acuan: Maka apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang didalam dada.
Yup, hati ternyata tak cuma bisa memahami, tapi juga bisa buta blind heart.
Heart, organ dalam dada yang memompa darah dan menyalurkannya keseluruh tubuh adalah jantung. Masih dengan kata yang sama, hati yang merupakan pusat perasaan seseorang terutama cinta adalah pusat dari sesuatu; isi, inti centre of something / al qolb: al lubb (oxford learner’s pocket dictionary p.194 / kamus Al Munawwir hal.1145/ kamus Al Bisri hal.609).
Sedangkan liver, organ besar didalam tubuh berfungsi membersihkan darah adalah hati ketika kamu sakit hati (bukan catu rasa) berarti kamu kena liver. Lain halnya dengan liver binatang yang jadi lauk makanan (atine kewan) hanya untuk nambah zat besi saya rela ‘makan hati’.
Otak, organ dalam kepala yang mengontrol pikiran, perasaan, ingatan dan intelejen, dengan demikian benak merupakan bagian dari otak seseorang dimana pikiran berada.
‘makanya pakai otak dong!’ ungkapan ini mungkin kurang lebih mirip dengan sumpah serapah ‘otakmu mana?!’ kurang berperasaan memang, karena hati tidak disertakan dalam penulisan, padahal kenyataannya hati terlibat dan memberi makna tak beda kalau saja ditulis ‘pakai hati dong!’ atau ‘dasar gak punya hati!’ ilustrasi ini menunjukkan betapa otak dan hati memiliki arti yang sama (al aqlu : al qolbu- kamus Al Munawwir hal. 957 / kamus Al Bisri hal.519 sedangkan al qolbu : al aqlu kamus Al Munawwir hal. 1146 / kamus Al Bisri hal. 609).
Atau gabungkan sajalah ‘pakai otak dan hati!’ (bahasa orang yang mengalah lebih karena saya menyerah)

Woman

Wanita
Terasa cepat rasanya kita sudah berkepala tiga lebih lima (an), tentunya kita sudah bisa mengenal baik wanita yang telah menjadi bagian-teman hidup.
Karena dalam keseharian dia selalu minta kita kejar agar kita bisa ditangkap.
Meski terbikin dari hal yang sama dari lelaki punya ‘tulang bengkok’ mengapa kita sulit memahaminya, apa karena ini adalah majaz, atau sebab jalannya yang catwalk lenggak-lenggok atau otak kita saja yang bengkok kurang bisa menangkap kemauannya.
Sujiwo Tejo pun menyerah mendifinisikan wanita, katanya ‘Tuhan saja bisa di difinisikan tapi tidak dengan wanita’.
Satu hal yang menjadi sangat mungkin untuk bisa mengenali wanita adalah kecantikannya yang meliput anatomi tubuhnya yang ‘wah’.
Dan disinyalir Libanon adalah gudangnya sampai-sampai Europe orkes rock lawas menjadikannya judul pada single hitnya’Girl from Lebanon’.
Pernah juga saya Tanya ’kira-kira orang mana yang kecantikannya luar biasa diatas rata-rata yang sampeyan lihat waktu naik haji’ jawabnya pun sama: wanita libanon.
Dari cerita yang ada, wanita jugalah yang paling sering mendapat peluang bisa mencium batu ka’bah hajar aswad, bahkan ada yang dapat setiap kali tawaf.
Subhanallah, ciuman hajar aswad tentunya lebih dashyat rasanya lebih dari sekedar mencium suami yang aswad meski abyad kulitnya.
Wanita dengan kemisteriusannya dan aneh perilakunya, bagi kita mata lelaki mempunyai arti tersendiri. artinya semisterius apapun dan seaneh apapun tingkahnya kita dipaksa sabar untuk dapat membuka tabir misterinya, apa itu? tau ah gelap!
Disinilah unique selling point (heri azwan mengatakannya) yang menempatkannya di posisi mulia dan Tuhan memuliahkannya.
Memang betapa muliahnya wanita, rela ditakdirkan paling banyak sebagai penghuni neraka.
Kira-kira untuk apa ya?
Ya untuk menghibur penghuni-penghuninya.
Siapa?
Kita!

Live in between Hell n’ Heaven

ada canda antara sorga dan neraka
ketika humor sudah menjadi hal yang serius dan dikomersilkan, dijadikan lahan cari uang (Jogger, Dagadu, Bagito, Patrio Dkk) dan bahkan dilombahkan di salah satu stasiun tv, ayo kita bercanda saja sebagaimana canda tawa dunia pelaminan sebelum persetubuhan, karena yang demikian merupakan suatu anjuran dan Tuhan pun tersenyum senang menyaksikan.
bisa dirasa, gak perlu dibayangkan betapa serius dan lucunya hidup ini.
malam menina bobokan, pagi- bangun tidur sudah disibukkan dengan rutinitas penafkahan, pulang kerumah sejenak diistirahatkan oleh kontinyuitas tontonan-tv program, kembali petang, untuk menjaga stabilitas rumah tangga ‘pelepasan’ ah-uh pun musti masih disempatkan.
what the hell are you talking about, ndok?
apa kamu sedang bicara tentang neraka, ndok?
(terjemahane wong gendeng)
saya jawab ya memang ‘neraka dunia’ (hell o’ life)
what the hell is going on, buddy?
apa yang terjadi di neraka, kawan?
(terjemahane wong edan)
ini guyonan apa pertanyaan serius yang butuh jawaban?!
kita yang dilahirkan dan ditempatkan didunia dipaksa untuk tidak menyukainya.
wa fi dunya zaahidiin
wa fil akhiroh roogibiin
(cuplikan doa setelah sholat terawih)
sebab menyukai dunia berarti meneguk nikmat sorga
dan dengan membencinya berarti menyiksa diri dengan nerakanya.
karena dunia adalah sorga campuran neraka atau sebaliknya.
serius banget!
mana lucunya?
ada di dunia, sorga apa neraka?
begini saja, coba jawab pertanyaan saya,
kenapa ada sorga di dunia kalo yang terasa adalah neraka?
jawabannya ya suka-suka
wong namanya juga bercanda
tapi mengapa mempercandakan suatu yang serius bahwa sorga neraka itu ada.
lalu ada dimana?
di hati manusia, dunia atau jauh di atas sana?
lucu jawabannya adalah seperti Arema
tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana.
what the hell you are, man!
apa kamu ada di neraka, mas?
(terjemahane wong putus asa)
dilanjutkan
kalo ya apa ada kelucuan disana?
jawabku ya kalo Abu Nawas masuk di dalamnya.
saya pun lalu berdoa agar dia masuk dan jadi penghibur penghuninya.
Ps. it’s funny how we’re afraid of hell but everyday we build the bridge to go there.

Makronah

Mie Goreng
Tak terbayangkan sebelumnya, mie goreng itu selalu menjadi salah satu menu utama sarapan kita. Hidangan ringan menyenangkan ini sudah cukup efisien untuk untuk dicerna menjadi kalori dikeluarkan tubuh berupa energi.

‘Pencernaan’ menu umum yang khas Cina ini, memaksa kita untuk mengapresiasi kemudian mengakui ‘Tionghoa’ sebagai referensi kulinari dan rujukan ilmu bela diri.
Kalaupun keberadaan hadits dhoif ‘utlubil ilma walau bissin’ benar adanya sebagai hadist bukan dari Nabi ( akal-akalane ulama), kandungan isinya pasti lebih dari sekedar Nabi memerintah ‘belajar masak mie dan membela diri’.

Karena Cina sudah jauh dikenal sebelumnya akan filosofi peradabannya, seni budayanya, dan akidah ke’Islamannya’. Tao, Yin-Yang tak perlu dijelaskan, saya takut dan tak ingin memunculkan kesan ‘Islam agama saduran*’ (ya Allah saya bukan anggota JIL). Ini murni imaji liar (dzon) yang memperdayai sisi jahat pemikiran. Tapi karena memang sebagian besar kosmologi Islam mengingatkan kita akan kosmologi Cina. Tao dengan wajah Yin-Yangnya adalah Taichi yang tak lebih merupakan Shidratul Muntaha Confucius sendiri yang mengatakannya. Bukannya saya menyandingkan memberi ‘wajah lain Islam’ tapi benar kalau Nabi memerintahkan berburu ilmu ke Cina bukan ke negeri asalnya tapi ke Dia ‘kota ilmu’ lewat Ali sebagai gerbangnya, karena di dalam Islam ternyata ‘Cina’ ada disana. Lebih dari itu, universalitas bawaan Islamlah yang menyadur, menyepuh, menggubah dan menyempurnakan lengkap dan meliput segala ajaran dan jurusan.

Menjurus ke Ilahian (ke kebenaran) banyak dan beragam cara sebagaimana aneka menu makanan bervariasi tapi tetap satu tujuan (God as a goal) is like to eat is to be Full. Mie dengan panjang dan zig-zagnya tak hanya menawarkan aroma serta rasa tapi selera perenungan (taste to illuminate), sedang capaian Ilahi mengantarkan pada tangga titian gapaian (stairway to God). Keduanya menyublim saling mencerahkan: dirasa lidah, direkam otak, ditampung perut dan dicerna hati yang berfikir (qolbun ya’qil).

* Sadur -pb kelihatan, keadaan (maksud tabiat) yang sebenarnya.
Menyadur-menyusun kembali tanpa merusak garis besar isinya.
mengolah (hasil penelitian, laporan) mengikhtisarkan.
Saduran -hasil menyepuh (sepuhan) menggubah (gubahan)
ringkasan, ikhtisar, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tiga, hal, 976
Jakarta: Balai Pustaka

konslet

Sebuah hubungan pendek
Melihat anakku sedang menetek, terlintas di benakku bukan keinginan nimbrung ikut netek juga, tapi keterkaitan individu satu dengan lainnya. Bayi dengan ibunya, manusia dengan karya ciptanya dan manusia dengan penciptanya.

Sebuah hubungan mutualis saling menguntungkan satu sama lain; bayi diuntungkan dengan pertumbuhan tulang giginya, ibu terpuaskan dengan ‘sedotannya’ (status keibuanya-baca), manusia terhargai dengan karya-karyanya dan hasil karya cipta itu sendiri menjadi ‘mahluk’ yang memberi nilai lebih kepada penggagas, perumus dan eksekutor pelaksana pembuatannya.

Di paragraf ke tiga ini, terlepas atau tidak dari kelupaan, kelalaian dan keingkaran manusia, keterkaitan manusia dengan penciptanya tetap begitu kuat dan manusia membutuhkan kekuatan lebih (la haula wa la quwwata karena manusia itu lemah dan tuhan itu memang kuat adanya) untuk stabilitas hubungan yang ada.

Dengan menetapkan regulasi aturan syariah-Nya (agama), tuhan telah memberikan pilihan dan menghadapkan kita pada tidak adanya pilihan (no choice) cause this is a choice! (in taftahu talijhu). Islam muncul sebagai agama pilihan lewat messanger-Nya yang punya misi cuma di ranah kesempurnaan budi pekerti (makarimul akhlak) yang menjadi indikasi suksesnya misi itu sendiri.

Gara-gara (adanya kata) Islam kita jadi muslim. Perhatikan derivasi perubahan bentuk dan jabatan katanya. Dari satu kata ‘banyak makna’ keterkaitanpun jelas sudah ada. Dari kata-kata tuhan (firman), kita terkait dan diuntungkan dengan banyaknya kisah, kabar serta pengetahuan yang tersurat dan ilmu yang tersirat di dalamnya, diberi kesempatan untuk menjadi ‘rosikhuna bil ilmi’untuk menafsirkan perkataan-Nya, dimanjakan dengan promise-reward-Nya, diancam dengan Malik dan Zabaniah-Nya. Perhatikan urutan take n’ give dan kasualitasnya (rahmatku mendahului siksaku) duluan mana?, untung kita masih diancam dan diancampun kita masih beruntung.

Dari kata-kata rosul-Nya (sabda) kita diajak menjelajahi zona jabaran keluasan-keluwesan ajaran-Nya, dihadapkan dengan banyak dan kayanya variasi ijtihadi ra’yi ulama-Nya; mau begini begitu, terserah!. It is free to do and free your religious activity from any tendency, sebab tuhan meski penuh kalkulasi (sariul hisab) Dia gak mau ambil peduli dengan untung rugi. Keuntungan mutlak sudah ada di tangan-Nya, sedang kerugian akan berada pada hamba-Nya (al insan lafi husrin).

Mutualism sebuah hubungan menjadi bermutu apabila kita memposisikan diri sebagai penjual bukan pembeli. Ditawar rendah atau tinggi oleh ‘Sang pembeli’ (tuhan dalam respektif ilmu dagang) kita sudah beruntung, diajak dan dilibatkan dalam keterkaitan sebuah hubungan pendek ini.

kitaro

Kitaro
Sesekali tangan Kitaro menengadah keatas kepada Tuhan dia memelas. Jari tangannya meski tak selentik jemarinya Monica Belluci, tapi efek suara yang dihasilkan lewatnya luar biasa menggoda telinga dan memaksanya untuk setia istiqomah (sami’na wa ato’na) kami mendengar maka kami mematuhi.

Mendengarkan untaian nada yang sebenarnya adalah rayuan jiwa berarti menempatkan diri untuk pasrah digoda, untuk dihantarkan pada ritme agama (rhythm of religion) suka duka menjalaninya sampai pada akhirnya telinga dihadapkan pada rhyme akhir suara yang sama bahwa suka adalah duka dan tak ada duka sebab rasa suka.

Sedang melantunkannya (nada-irama lagu mengikuti keduanya) lebih berarti mematuhi aturan tangga nada untuk kemudian mengikuti iramanya dengan bertumpu kunci tertentu tentunya (madhab not balok).

Bunyi-bunyian itu terangkai menjadi suara bernada, komposisinya memiliki arti penting dalam pelaksanaan ritual sebuah agama, semisal Budha dengan kentongan kecilnya, demikian halnya Bedug, keberadaannya menjadikannya sebagai band pembuka sebelum adzan dikumandangkan. Dan Rebana pun diyakini sebagai alat musik yang pas untuk sholawatan.

Meski ada sebagian yang mengharamkannya, sebut saja PKS, Hizbut Tahrir dan Jamaah Salafiyah, musik selalu saja ada, tak terusik mengiringi bait kata-kata indah (puisi) Muhammad Iqbal melalui biolanya, Cat Steven-Yusuf Islam dengan vocal bassnya, Ebiet G. Ade dengan perfeksionis aransemen dan kedalaman makna lirik lagu-lagunya, Hadad Alwi dengan kerinduan syairnya. Dhani Dewa dengan trendi religinya, Opick dengan swara tawakalnya dan Debu dengan multi ras musiknya.

Terlebih ada keinginan untuk bermusik tanpa memakai alat musik (nasyid) meskipun menunjukkan semacam hipokrit kecil karena mulut dengan memonyongkannya dan jari telunjuk dengan jempol dipertemukan dalam beat peraduannya (acapela) tak kurang adalah media musik juga, dengan sendirinya yang demikian itu mempunyai makna sama bahwa Nasyid adalah Acapela dan layak untuk disamakan dengan Gospel, jamaah nyanyi kristiani.

Dengan atau tanpa memakai alat, musik tetap menjadi bagian vital pengiring perjalanan spiritual, sebab Nabi membiarkan ‘rengekan’ senandung melankolis seorang sahabat waktu dia sedang merintih. Karena merengek berarti mengolah suara wajar menjadi suara sedih menyayat, mengolah suara berarti memainkan irama dan melantunkan nada melalui pita suara, lidah dan bibir sebagai instrument musiknya.

Dengan atau tanpa lagu, musik sudah menjadi indikasi tersendiri agama apa yang kamu jalani.

Abu Naum

Abu Naum
Bagi yang mengerti dan memahami alur historis-geografis serta leksikal maknanya akan sampai pada simpelnya sebuah kesimpulan bahwa Abu Naum memiliki arti lebih ‘lucu’ dari pada Abu Nawas. Benar, Abu Nawas kesohor dengan kelucuannya tapi itu lebih karena cerita kisah lucunya bukan karena profil orangnya. Sebaliknya Charlie Chaplin, bahkan dia lebih lucu dari film-filmnya.
Sedangkan predikat Abu Naum (Bapak Tidur), penidur atau tukang tidur sudah menjadi lucu sejak pertama kali dilontarkan sebagai suatu jabatan. Mustinya kita akan tersenyum (bukan karena kita tahu kalau senyum itu shodaqoh) mendengar term Abu Naum, lebih-lebih melihat sosok orangnya.
Salah seorang dari sekian banyak orang-orang ‘setengah gila’ katakan ‘sufi’ saja, yang pekerjaanya melulu tidur (naumatus sufi ibadatun) sebagaimana tidurnya orang puasa yang memang dianggap ibadah juga, memaknai tidur sebagai suatu aktifitas luhur. Lebih dari itu bisa saya katakan bahwasanya tidur merupakan halte pemberhentian menuju keberangkatan (departure of soul) dan menjadi jalan pintas ketersambungan. Kasur bantal menjadi wasilah untuk wuslah (road to God), dengan atau tanpa keduanyapun sleep must go on untuk sampai ke haribaan-Nya.
Terpejamnya mata menandai diangkatnya sukma, dihantarkan pada zona luas ketidakberdayaan mata yang dengan kasat memandangnya invisible (aku tutup mata maka aku melihat), gak percaya? tanya saja Gus Dur!.
Keluarnya air liur mengalir tanpa ada yang mencegah menjadi kreasi baru bernama ‘iler’ mengindikasikan kepulasan dan kelelapan yang tak terbantah. Jasad yang merana lelah terlelapkan dan dipulaskan oleh sukma yang mengembara entah kemana (dua di antara banyak indikator keberangkatan sukma berupa iler: air liur merembes keluar dan sperma: air mani yang tumpah lewat mimpi tentunya).
Terkuaknya rahasia menjadi hal nyata (realita) melalui mimpi-‘wangsit’ orang jawa mengatakannya-bisa kita dapat dengan cara tidur (naum) atau bertapa (tahanust), menempatkan tidur menjadi media murah untuk beranjangsana ke dimensi ilahi dimana kebenaran mutlak ada disana. Sebuah ‘media murah’ yang tuhan pun memakluminya untuk cukup menjadi alasan gugurnya sebuah kewajiban (rufial qolam).
Tidur dengan berbagai polanya; miring (the best position prophet prefers), terlentang dan tengkurap (kusus posisi tidur satu ini-tengkurap- diancam hadits nabi; naumatu ala suhbati tuaddi ila nar, dimanjakan kenikmatan ejakulasi) memberi arti lain akan pentingnya menjadi seorang penidur
(it’s hard to be a sleeper but somebody has to do).
Meski cuma semalam, ashabul kahfi pernah melakukan dan ketagihan (addict to sleep) kembali melaksanakan aktifitas luhur, tidur!. Tanpa ranjang igauan dan gangguan (REM) rapid eyes movement.
Last n’ Forever.
Tidur, yuk! hari sudah malam, bagiku waktu tak lagi jadi acuan, bisa malam bisa siang (depend on what kind of man you are) untuk meraih ‘ekstasi naumi’. Karena pertama, menurut pendapat awam, tidur berarti mengistirahatkan raga yang menyiksa (pegel linu). Kedua, oleh ilmuwan tidur ditangkap bukan dari praktek kerjanya tapi lebih pada fungsinya; regenerasisasi bodi (hasil riset dari Pond’s Institute). Ketiga, oleh cendekiawan tidur menjelma menjadi model baru sebuah perenungan (kontemplasi mimpi). Ibnu Sirrin pasti geli menertawai ‘mimpi yang direnungi’, lewat ta’wil mimpi-mimpinya (ta’wilul ahlam), terbukti dia sendiri adalah seorang pemimpi.
so what?
Untuk menjadi pemimpi kita musti dulu menjadi penidur (gimana mau mimpi lah lo gak tidur). Meski menjadi penidur dibutuhkan keberanian (lebih-lebih kalo tidur sendirian) rasa-rasanya (gak rasionalnya) akan lebih baik menjadi seorang penidur (abu naum) dari pada memperpanjang lamunan impian.
wala tamnun tastaksir
wala nglamun tutowwil
just close your lazy eyes n’ you will find
peace o’ mind