Paling tidak, bahasa yang di mata Aristoteles adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism) yang dengan sendirinya merupakan suatu kesema-menaan, telah menunaikan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat komunikasi antar manusia, juga manusia dengan Tuhannya atau sebaliknya.
Bahasa Tuhan yang dikenal lewat firman-Nya tertulis dalam 6666 ayat melalui sang perantara Jibril, tentunya tidak sama dengan bahasa-Nya manakala Dia berbicara langsung kepada mitra tutur-Nya, kalimullah Musa. Ketidaksamaan bahasa di dua zaman yang berbeda Musa-Muhammad, bukan lantaran kesemena-menaan (arbitrary) bahasa-Nya tapi lebih karena bahasa itu sendiri yang physei atau mirip realitas (non- arbitrary) sebagaimana yang diyakini Plato dan pengikutnya.
Antara Tuhan dan manusia, agama menempati posisi di tengah keduanya. Keterlibatan bahasa pada sebuah agama, dalam hal ini bahasa Arab pada agama Islam, lebih dikarenakan kegagapan manusia dalam bercengkerama dengan Tuhannya. Pada dasarnya, agama itu sendiri adalah bahasa penengah bagi keduanya. Menurut saya sebagai penutur non-Arab, agama tidak ada sangkut-pautnya dengan bahasa dan tidak juga merupakan bagian dari agama sebagaimana yang dijadikan alasan khalifah kedua untuk mempelajari bahasa Arab, ihrishuu ala ta’allumi al lughoh al Arobiah innaha juz’un min diinikum pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia adalah bagian dari agamamu.
Keberadaan bahasa Arab sebagai bahasa yang tersisa dari bahasa agama-agama (Hebrew-Aramaic) memang mempunyai nilai tersendiri di mata Tuhan untuk dijadikan sebagai bahasa-Nya yang dikompilasi sedemikian rupa dalam apa yang kemudian dinamakan Al-Qur’an. Disamping sebab kedekatan letak dan kesinambungan runut sejarah agama-agama serta keserumpunan bahasa (Semitic), Tuhan mempunyai alasan tersendiri mengapa bahasa Arab menjadi bahasa terpilih inna anzalnaahu qur’anan arobian. Konsekuensinya adalah adanya kemutlakan penggunaan bahasa Arab dalam ritual keagamaan yang tidak bisa digangu gugat walau oleh seorang pejuang kesetaraan bahasa, Gus Roy.
Penggunaan bahasa Arab dalam ritual keagamaan yang tidak lebih merupakan paketan dari langit take for granted tidak menjadikan baik bahasa Arab maupun penutur asalnya (native speaker) ataupun penutur ghoiru nathiqin jauh lebih baik dari bahasa asing lainnya maupun penutur bahasa lain. Tidak ada jaminan bahwa pengucap wolo wolo kuato lebih jelek dari pengucap la haula wala quwwata. Adanya pernyataan Nabi tentang kesetaraan bangsa dan bahasa la farqo baina al’arobi wal a’ jami sudah cukup membuktikan posisi dimana sebenarnya bahasa sebagaimana perintahnya untuk mempelajari agama dan bukan bahasanya liyatafaqqohuu fi al diin.