Month: April 2008

Ayat-Ayat Cinta, Surat Al-Mawaddah dan Juz Karya Sastra

I have promises to keep

And miles to go before I sleep


Terlintas dengan cepat di benak ini sebuah pertanyaan ‘Apa jadinya kalau penggalan puisi berjudul Stooping by The Woods on A Snowy Evening karya Robert Frost tersebut diatas, diangkat menjadi sebuah film?’. Spontan terjawab begitu saja, ’Jangan ntar hilang kesakralan metafora bahasanya dan juga nilai keramat kandungan maknanya’.

Pastinya, bukan menjadi hal yang mudah memvisualisasikan karya sastra berupa tulisan pendek nan indah (poetry). Terlebih, karya sastra itu berupa novel tebal semisal Ayat-ayat Cinta. (sampai sini saya cukup memaafkan ketidakmampuan sang sutradara, Hanung Bramanto dalam menyajikan isi novel secara utuh, meski perlu diakui dia cukup perkasa mengemas setiap jengkal scene dengan polesan warna-warna kosmetik mirabella. Walah bintangnya cakep-cakep gak ada yang jelek seperti Siti Marpuah tetangga saya).

‘Apa salahnya jika karya sastra dikaryasenikan?’ tanya otak kanan disambung dengan asumsi bahwa bisa dipastikan akan menjadi sebuah karya seni bukan berupa film religious tapi film yang sarat dengan muatan religi. Meski bermula dari celoteh ilahiah yang keluar dari mulut sang kafir, Robert Frost yang nyaris menempati makna yang sama dengan sabda Nabi la imana liman la amanatah. Sebagaimana ucapan kafir lain seperti Jon Bon Jovi yang meyakini ‘cuma akan tidur ketia dia mati’ I sleep when I am dead lantaran masih banyak hal untuk ditunaikan promises to keep dan panjang jarak yang masih musti ditempuh miles to go.

*kepalaku mumet, budget melarangku pergi ke gedong bioskop, saya rasa akan lebih mengena kalau film Ayat-Ayat Cinta ditonton di layar tancap saja*

Film yang tak lain adalah sebuah karya seni, merupakan hasil olah paduan pelbagai bahasa. Disamping bahasa tubuh, dominasi bahasa lisan pada sebuah film tidak akan bisa mewakili bahasa tulis. Itulah mengapa, baik Charlie Caplin maupun Mr. Bean lebih banyak bungkam tak bersuara tapi bergerak dengan gesture mengisaratkan pesan yang hendak disampaikan, murni tanpa basa-basi.

Siddharta Gautama sekali pernah berkata bahwa segala sesuatu yang dipikirkan dan dikemukakan dalam kata-kata selalu jadi tinggal separuh kebenaran, kekurangan totalitas dan kelengkapan … Seorang Budi Dharma pun akan menjadi keluh lidahnya jika disuruh melisankan detil novel ‘olengka’nya. Tidak demikian dengan ocehan Slamet Gundono yang memang murni-layaknya dalang-seni bertutur mengolah kata (oral art work) dengan mengesampingkan bahasa tulis (literary work). Sama halnya dengan kesejukan ceramah melankolis seorang AA Gym ataupun provokasi motivasi Andre Wongso.

Apa yang membedakan Ayat-Ayat Cinta dengan Ada Apa dengan Cinta?

Jawaban pastinya, Ayat-Ayat Cinta adalah tidak lebih sebuah novel dan tidak akan pernah bisa menjadi semacam lirik lagu yang kemungkinan dengan mudah dapat dilantunkan dengan merdu. Tidak demikian dengan juga sebagai film.

Meski tidak keluar dari novelnya, film Ayat-Ayat Cinta tidak bisa saya temukan di surat Al-Mawaddah, surat kesekian di dalam Juz Karya Sastra.