Month: February 2010

When Love and Hate Collide

Sepertinya, kata yang tepat untuk mewakili gambaran hubungan antara Islam dengan Barat adalah love and hate. Dan analogi tepatnya adalah sebagaimana persisnya hubungan Indonesia-Malaysia. Serumpun tapi tidak sama. Sama-sama pernah bersinggungan dan merasakan pahitnya torehan fakta sejarah yang membuahkan kebencian tiada tara (stronger than hatred) di antara keduanya. Korelasinya adalah kecintaan yang teramat sangat di masing-masing pihak, berbentuk narcissism malignant dalam keagamaan (ghulūw) dan chauvinism dalam berkebangsaan (hubbu al-wathan).

Pendek kata, Timur dan Barat: Islam dan Barat nampaknya sudah terlanjur diibaratkan bagaikan air dan minyak; sama-sama cair tapi beda simbol kimianya. Keduanya tidak bisa dipertemukan walau dalam wadah yang sama. Ekspansi Islam ibarat air bah, yang pada akhirnya surut juga. Sedangkan potensi dan supremasi Barat semisal minyak, bernilai politis-ekonomis tentunya. Sama halnya dengan air, pada akhirnya sumber minyak akan kering juga. Inilah hukum alam (natural law) dimana Tuhan membahasakannya sebagai sunnatullah dan sejarahwan secara fatal (jabariyah) menamainya sebagai ‘takdir sejarah’.

Permasalahannya, takdir tidak serta merta mutlak berada di tangan Tuhan. Pada dasarnya, Islam-Barat pun dilibatkan dalam penentuan takdirnya. Artinya, polemik hubungan antara keduanya bukanlah takdir semata yang harus diamini dengan kepasrahan. Terlebih, dunia adalah alam kodrat, dimana segala sesuatu mungkin berpeluang terjadi. Peluang itu adalah celah yang memungkinkan untuk bisa diisi dan dilakukan bersama-sama.

Sampai disini, saya menjadi pesimis terhadap fakta adanya upaya mempertemukan Islam dengan Barat, lebih-lebih kerjasama antara keduanya. Tidak sebagaimana yang telah sejarah paparkan, yaitu banyaknya upaya bijak dan signifikansinya dalam rangka mempertemukan Islam-Kristen. Kepesimisan saya bukannya tidak beralasan. Mengingat tidak hanya faktor kecerdasan dalam memahami alur dan fakta sejarah, tapi juga kedewasaan dalam menyikapi perbedaan yang terbungkus dalam keberagaman.

Meskipun ada, tapi itu tidak saya jumpai di kebanyakan umat Islam. Sebagaian besar kita, dapat dikatakan tidak paham sejarah (ahistoris) ditambah tidak dewasa dalam beragama, baik dalam pemikiran, penyikapan maupun memprilakukan keagamaan. Trend yang ada hanyalah kecenderungan untuk mengedepankan nostalgia kemenangan masa lalu. Bagi saya, ini adalah indikator keterbelakangan dimana rasa suka yang berlebihan terhadap kemenangan masa lalu tanpa disadari telah menyeret tidak sedikit umat Islam ke dalam kubangan ‘penderitaan manis’ masa silam (sweet misery). Pastinya, yang demikian ini bakal menjadi kendala besar dalam mentransformasikan kepahitan masa lalu (past perfect continuous pain) menjadi sebuah optimisme di masa yang akan datang.

Keoptimisan saya justru berada pada Barat. Masa lalunya sudah tergambarkan dan terprediksikan dalam al-Qur’an sebagai kemenangan yang gemilang di masa depan (lihat, al-Rūm:2-3). Barat, terlepas dari campur tangan Tuhan mampu menjadi pemenang. Mentalitas pemenang inilah yang menjadi acuan keoptimisan saya jika saja Barat mau menjadi pionir dalam menciptakan dunia yang lebih egaliter. Faktanya, banyak hal yang menunjukkan semestinya itu berada dan terjadi di dunia Islam, seperti budaya antri, kebiasaan tertib dan tepat waktu, terjaganya kebersihan, etika kesusilaan, pemanusiaan, rasa nyaman dari adanya keamanan, dan ekonomi ketuhanan. Untuk urusan ini, perlu diakui umat Islam gagal mewujudkan. Dan nyatanya, Baratlah yang memulai meski Islam lebih dahulu menyajikannya dalam bentuk ajaran.

Menjadi pertanyaannya adalah, apakah ajaran diciptakan untuk diyakini atau diaplikasikan. Intermeso kaitannya dengan ini adalah pada praktiknya umat Islam lebih suka mengatakan bahwa aturan diciptakan untuk ditinggalkan. Pendek kata, sebagian umat Islam adalah pecundang.

Seperti dalam konflik tak bertepi; Barat-Islam, sebagian umat Islam tidak pernah mau berusaha untuk jujur, untuk tidak mengatakan bahwa konflik yang berkepanjangan ini terjadi lebih dikarenakan adanya motif kepentingan agama. Apa perlunya agama melibatkan diri dengan memaksakan kepentingannya. Motif ini jelas tidak mempunyai relevansi dengan kalimah li i’lai kalimatillah. Sayangnya, sampai kini studi korelasi belum pernah dilakukan untuk menemukan hubungan motif kepentingan agama dengan slogan li i’lai kalimatillah. Saya fikir, dalam hal ini kritik pedas Hasan Hanafi terhadap kebanyakan umat Islam mendapatkan pembenarannya bahwa umat Islam selalu mementingkan dan mengedepankan hak-hak Tuhan dengan cara melalaikan atau mengesampingkan hak-haknya sendiri. Dalam bahasa sederhananya mendiang Gus Dur, memang benar Tuhan tak perlu dibela.

Dengan kata lain, sebenarnya motif kepentingan agama hanya dijadikan kedok belaka, untuk menutupi kefanatikan etnik (racialism), perasaan bangga berlebihan terhadap superioritas bangsa (the pride of being Arabian), dan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kursi kekuasaan (political and economy powers).

Tidak seperti kebanyakan umat Islam, Barat lebih jujur menyuarakan kepentingan mereka yang dapat dibilang lebih suka mengesampingkan peran agama, mengingat Barat sendiri pernah mengalami trauma tidak hanya dengan gereja tetapi juga dengan teks-teks yang termaktub dalam kitab suci mereka.