Penjara menawarkan keleluasaan serta kebebasan, sebut saja Cipinang. Sama halnya kampung damai Gontor: skema keunikan sebuah penjara yang tak berjeruji dan sel yang tak berteralis, tak ada pagar sebab yang ada hanyalah individu-individu yang terpatri kaku, berbaris memanjang yang tak mungkin lepas dari rel hegemoni angkuhnya sebuah aturan, atau melingkar berkelompok seperti komedi putar, menggelinding searah jarum jam, tipis kemungkinan bisa lepas dari tautan gerigi yang mengunci perilaku pribadi-pribadi pada satu arahan tidak adanya pilihan, yaitu keteraturan mekanik yang berpola dasar dari tidak adanya rasa sadar. Sebuah mainstream yang memilukan!.
‘Jangankan ramahnya keadaan-wong namanya saja penjara- senyumanpun tak kudapatkan’. Empirikku membenarkan asumsiku bahwa di Gontor implementasi at tabasum shodaqotun terkondisikan dengan aturan fiqh, nishob bobot senyuman sudahkah setara dengan 85 gram emas dan haul saat boleh tersenyum sudahkah pada waktunya? atau jangan-jangan tipe kita adalah muzakki yang tak perlu tersenyum untuk bersedekah. Di penjara, kita sadar bahwa kita cukup kaya untuk tidak tersenyum!.
Kepribadian kita tunggal adanya, cuma sering tanpa disadari selama dipenjara kepribadian digandakan oleh sebab pertama kebutuhan dan kedua tuntutan berdalih atau karena demi pendidikan. Bisa dibayangkan orang semacam Syariful Aklam jadi keamanan. Satu sisi dia ‘ringan tangan’ (pukulannya terasa benar-benar ringan) memukul lebih karena tuntutan, sisi lain tak jarang dia sering berperilaku nakal, yang demikian menjadikannya satu-satunya keamanaan pusat yang punya paling banyak teman.
Penjara adalah tempat paling aman untuk melakukan kesalahan. ‘Sipir-sipir’ Gontor punya banyak ruang gerak berlindung di balik jubah nidhom atau menanggalkannya sejenak untuk bisa leluasa bergerak. Demikian juga para narapidanya bisa bergerak bebas di belakang kotak akhii anta hurrun warooa sundhuq.
Penjara telah memberikan keleluasaan serta menawarkan ragam kebebasan dalam berperan dan Gontor sudah sukses memenjarakan penghuni-penghuninya. Terhitung tidak sedikit aktifitas kebebasan yang disajikan dalam kemasan rapi, teratur dan terarahkan lewat pantauan ketat dengan kebijakan sepihak. Berfikir bebas pun mendapatkan tempatnya meski berada di deret akhir panca jiwa.
Saat ini, dalam kebebasanku rasanya terbesit perasaan kangen kembali ke penjara.