Month: November 2007

Penjara

Penjara menawarkan keleluasaan serta kebebasan, sebut saja Cipinang. Sama halnya kampung damai Gontor: skema keunikan sebuah penjara yang tak berjeruji dan sel yang tak berteralis, tak ada pagar sebab yang ada hanyalah individu-individu yang terpatri kaku, berbaris memanjang yang tak mungkin lepas dari rel hegemoni angkuhnya sebuah aturan, atau melingkar berkelompok seperti komedi putar, menggelinding searah jarum jam, tipis kemungkinan bisa lepas dari tautan gerigi yang mengunci perilaku pribadi-pribadi pada satu arahan tidak adanya pilihan, yaitu keteraturan mekanik yang berpola dasar dari tidak adanya rasa sadar. Sebuah mainstream yang memilukan!.

‘Jangankan ramahnya keadaan-wong namanya saja penjara- senyumanpun tak kudapatkan’. Empirikku membenarkan asumsiku bahwa di Gontor implementasi at tabasum shodaqotun terkondisikan dengan aturan fiqh, nishob bobot senyuman sudahkah setara dengan 85 gram emas dan haul  saat boleh tersenyum sudahkah pada waktunya? atau jangan-jangan tipe kita adalah muzakki yang tak perlu tersenyum untuk bersedekah. Di penjara, kita sadar bahwa kita cukup kaya untuk tidak tersenyum!.

Kepribadian kita tunggal adanya, cuma sering tanpa disadari selama dipenjara kepribadian digandakan oleh sebab pertama kebutuhan dan kedua tuntutan berdalih atau karena demi pendidikan. Bisa dibayangkan orang semacam Syariful Aklam jadi keamanan. Satu sisi dia ‘ringan tangan’ (pukulannya terasa benar-benar ringan) memukul lebih karena tuntutan, sisi lain tak jarang dia sering berperilaku nakal, yang demikian menjadikannya satu-satunya keamanaan pusat yang punya paling banyak teman.

Penjara adalah tempat paling aman untuk melakukan kesalahan. ‘Sipir-sipir’ Gontor punya banyak ruang gerak berlindung di balik jubah nidhom atau menanggalkannya sejenak untuk bisa leluasa bergerak. Demikian juga para narapidanya bisa bergerak bebas di belakang kotak akhii anta hurrun warooa sundhuq.

Penjara telah memberikan keleluasaan serta menawarkan ragam kebebasan dalam berperan dan Gontor sudah sukses memenjarakan penghuni-penghuninya. Terhitung tidak sedikit aktifitas kebebasan yang disajikan dalam kemasan rapi, teratur dan terarahkan lewat pantauan ketat dengan kebijakan sepihak. Berfikir bebas pun mendapatkan tempatnya meski berada di deret akhir panca jiwa.

Saat ini, dalam kebebasanku rasanya terbesit perasaan kangen kembali ke penjara.

An-Nar[koba]

Testimoniku bukannya mengada-ada, selama jadi mahasiswa, hampir 7 tahun lebih saya berkecimpung di dunia narkoba, bukan sebagai pemakai lebih-lebih penyuplai tapi menjadi guru spiritual mereka.

Kini, Roy Martin untuk yang kedua kalinya tertangkap tak tanggung-tanggung basahnya, di Novotel tempat kakak iparku mengais rupiah. Dari penanggkapan tersebut, sempat terpikir dalam benakku sebuah pertanyaan ‘ apa yang membedakan para pecandu narkoba dengan pegiat sufi jika ‘ekstasi’ jadi menu pembuka sajian utama?’.

Sebagaimana Chairil Anwar dalam kata puitisnya ‘setelah kubuka pintu-Mu, rasanya enggan aku berbalik’. Demikian juga vokalis The Door, Jim Morrison yang berusaha membuka pintu-Nya dengan kata kunci yang sama ‘ekstasi’. Sang American Poet pun telah mendapatkan ‘pertemuannya’ setelah over dosis. Dengan tanpa repot memahat, dia mendapatkan namanya terukir di batu nisan tentunya, Rest In Peace fii Daaris Salaam.

Ambiguitas kata ekstasi tak bisa dipungkiri memberi arti yang sama bagi yang mendengarkannya lebih-lebih bagi yang merasakannya, bahagia! sebuah perasaan yang tak lebih state of mind dengan batasan definisi yang tak jelas: sama-sama abstrak dan tak bertepi.

Pecandu narkoba, setelah berakhirnya itu rasa akan merasa sedih menyesali tapi tidak bisa berhenti past perfect continuous pain, maka biasanya yang dibutuhkan adalah pain killer itu sendiri. Sedangkan orang-orang aneh fatuubaa lil ghurobaa’ dengan kaki yang tak membumi sebab hati telah tercuri, setelah rasa itu berakhir akan merasa senang untuk bisa melakukan ulang past perfect continuous gain, maka selalu saja yang diinginkan menjadi semacam sahwat halus adalah ritual pelarian spiritual run wa ilaa robbika farghob dengan menafikkan kesibukan faidzaa faroghta fanshob.

Lalu apa jadinya jika dua model orang ini dikolaborasikan?. Jawabannya adalah no pain because it is a gain (baca again/lagi, juga boleh) atau no pain no gain atau no, I don’t know and I don’t want to know!.

hujan

Telah kutolak payung dan jas hujan

Sengaja aku lunturkan warna kulitku

Andai saja kelayakan publik memperbolehkan

Akupun akan telanjang

Membiarkan air bergaris memanjang menjuntai dari ketinggian

Menghujani akumulasi daki yang melekat di setiap jengkal tubuh ini

Menjadikan batok kepala sebagai wadah tumpahan berkubik tirta kesegaran

Menyuburkan ulang tengkorak yang mulai membotak

Akan kuteruskan sisa perjalanan ini

Sampai kering percik air hujan

Menyisakan gradasi warna-warni

Pelangi

Jembatan para bidadari