Empirical Facts of Educational Chances for Women in Islamic World: Past and Present

This article explores educational opportunities in the early period of Islam until the 13th century, which shows the significant role of women in education. It can be argued that the role of women in education can be traced not only in certain areas of religious … Continue reading Empirical Facts of Educational Chances for Women in Islamic World: Past and Present

Indonesian Islamic Education: Towards Science Development

Education as the root of civilization has an important role in preparing human resources toward the effort of developing sciences. Nowadays, Moslem in the world are are divided into two attitudes: resisting and refusing the development of sciences. Both of the attitutes are needed to bridge wisely. It meant no one is burdened in facing modern sciences by the ways of appreciating the modern sciences, applying them appropriately and learning from the history of the development of knowledge in the glory age of Islam. This article tried to confirm that science as a result of education, is not only the representation of civilization but also the demonstration of the high value of civilization. In Indonesia, the idea to reconstruct the model of Islamic education is getting stronger in accordance with the development of modern education. In this context, the clasical knowledge as heritance needed to be transformed into the modern one. Transformation is something unavoidable by the institutions of Islamic education.

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/309

Helping Students of Arabic Department Or Pesantren Learn the English Derivation

arabicPresenting the comparative description of English derivation and Arabic derivatives, this paper is intentionally purposed to help students to understand the English derivation. Most of students, especially the students of Arabic department or students who are familiar with Arabic as they have learned before, regard that English language is difficult to learn. To solve this problem, the writer provides a comparative study by using Arabic as another language that he knows. This paper constitutes an exploratory study of derivatives in both English and Arabic, provides procedures in teaching English derivation to the students who have basic knowledge in Arabic, and then gives reflection and conclusion.

Published in http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/humbud/article/view/3031/pdf

Empowering the Reading Readability

Read
A general assumption about reading is that students improve their reading ability by reading a lot. This research was conducted to explain the use of extensive reading and aimed to figure out its implementation in improving students’ reading readability by using the class action research technique. The data of this research relates to the students ‘reading progress shown in their reading reports: spoken and written summary, reading comprehension and vocabulary mastery and their participation. The strategy was evolved in the continuity of reading. Students were encouraged to read extensively in and outside class. The findings indicated that the implementation could improve students’ reading readability.This attainment demonstrated that students’ reading readabilityis frosted through the continuity of reading. Other facts showed that students enjoyed reading. Students’ curiosity was also a significant factor. Their high curiosity explained why students continued reading though they realized that materials they read were difficult enough. Students’ self-confidence was also built as they were required to write a retelling story and to share their previous reading. Instead of their retelling and summarizing, students felt to be appreciated as readers. This appreciation indirectly helped students to improve the reading fondness.

Published in http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/humbud/article/view/2557

Wajah Politik Islam Indonesia

Politics

Ajaran Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh, juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan keagamaan.[1] Eksistensi politik dalam Islam dapat diketahui melalui pemahaman yang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri,[2] bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.

Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik dapat dirujuk ulang pada persoalan pertama yang timbul dalam Islam, menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[3]

Lepas dari adanya penolakan terhadap keterkaitan Islam dengan politik dan hubungannya dengan urusan keagamaan,[4] artikle ini berusaha menyajikan politik Islam khususnya di Indonesia sebagai realitas yang ada dan hadir dalam kehidupan. Indonesia dengan mayoritas umat Islamnya, pastinya terimbas oleh berbagai permasalahan yang berkait erat dengan politik, seperti perseteruan antara negara dan agama, perseteruan Islam politik dengan Islam kultural, polarisasi politik, fragmentasi politik, repolitisasi dan politisasi agama, integrasi politik yang berkedok sebagai integrasi umat, terbebasnya publik politik dari belenggu kultural dan struktural (democracy abuse), dan polarisasi sosial yang merupakan dampak dari adanya kesenjangan sosial yang berujung pada pergeseran konflik ideologi ke konflik ekonomi.

Di akhir kesimpulan, perubahan artikulasi politik Islam dalam dua sejarah, baik Orde Baru maupun era Reformasi (pasca-Soeharto) ternyata malah memberi gambaran wajah politik Islam Indonesia. Sebuah wajah yang dipenuhi ekspresi sahwat berpolitik, menyuarakan isu-isu keislaman yang berakhir dengan kekalahan tidak berarti dan tidak memberi arti yang siknifikan untuk sebuah perubahan.

Dan agenda lain dianggap perlu untuk diwujudkan adalah memadukan ideologi politik di Indonesia yang nyaris tidak diketemukan perbedaannya.

Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan[5]

Islam pada masa Orde Baru ditandai dengan perubahan besar, baik secara institusional[6] maupun dalam bentuk perubahan pemikiran[7] berbagai ajaran agama ini, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Perubahan itu tampak jelas pada perkembangan Islam dewasa ini dibanding dengan masa awal Orde Baru, dan lebih-lebih lagi kalau ditelusuri jauh kebelakang sampai awal abad ini.

Perubahan besar tersebut, pada perkembangannya menyisakan permasalahan yang tidak bisa lepas dari faktor penyebab perubahan, yaitu munculnya perdebatan dikalangan para pengamat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan. Sebagian pengamat berpendapat bahwa perubahan yang dialami Islam dalam bidang politik dan pemikiran keagamaan pada masa Orde Baru ini merupakan konsekuensi logis dari proses modernisasi dan desakan politik pemerintah selama lebih dua dasawarsa.

Proses modernisasi membawa perubahan institusional dan wawasan umat. Salah satu inti modernisasi adalah rasionalisasi, sehingga umat dapat lebih terdorong untuk bersikap lebih rasional dan realistis. Sedangkan desakan politik pemerintah menyebabkan umat harus ikhlas menerima fusi partai dan penetapan asas tunggal Pancasila. Karena kedua hal ini merupakan bagian dari kebijaksanaan besar pembangunan politik Orde baru yang tidak dapat ditawar lagi.

Namun, tidak sedikit pula pengamat Islam yang menilai perubahan Islam bukan karena faktor modernisasi dan desakan politik Orde Baru,[8] tetapi lebih merupakan kelanjutan dialog internal yang telah berjalan dikalangan umat Islam.

Dialog internal umat dapat dilihat pada pembentukan ormas-ormas Islam untuk memberi pelayanan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Ormas ini lahir dari dialog tentang perlunya umat meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan mereka melalui institusi sosial yang relevan.[9]

Di dalam penelitiannya, Din Syamsuddin menyatakan bahwa Islam Indonesia dihadapkan pada kenyataan tentang kuatnya semangat pribumi (indigenous) di kalangan umat Islam sendiri yang tidak menghendaki “Islam Politik”. Mereka ini dominan di pentas politik nasional. Maka kemudian Islam tidak banyak dihadirkan di arena politik praktis untuk merebut kekuasaan, melainkan dalam dakwah, yang secara substansial juga mengandung muatan politik: amar ma’ruf nahy munkar. Perubahan dari Islam politik ke dakwah ini merupakan hasil intropeksi budaya, yang merupakan akibat dari hubungan tidak seimbang antara Islam dan negara: Islam berada pada posisi inferior sedangkan negara berada pada posisi superior.[10]

Dalam perkembangannya kemudian setelah banyak orang Islam yang berpendidikan, agama, dan umum, umat lalu mengalami suatu masalah baru tentang kesenjangan antara yang berpengetahuan agama dengan berpendidikan umum. Masalah ini membawa polarisasi dalam kehidupan poltik, yakni antara mereka yang berafiliasi kepada partai Islam dengan orang-orang Islam yang tergabung dalam partai-partai politik yang tidak membawa bendera Islam.

Selanjutnya, polarisasi politik menimbulkan dialog dan perdebatan dikalangan umat tentang perlu tidaknya membentuk negara Islam. Sebagaian pihak di kalangan Islam menghendaki dibentuknya negara Islam, seperti terlihat pada perjuangan DI/TI. Namun, tidak sedikit pula-terutama-yang telah berpendidikan tinggi, tidak menghendaki adanya Negara Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).[11]

Polarisasi politik ini berpengaruh pada munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada awal 1970-an. Salah satu inti gerakan ini adalah perlunya perwujudan integrasi umat dengan melihat kembali (memperbaharui) paham agama yang dianut umat Islam selama ini.

Integrasi umat ini diwujudkan dengan menghilangkan perpecahan politik dan membangun kehidupan sosial baru yang yang maju di segala bidang. Karena kehidupan sosial yang sejahtera dan diridhoi Tuhan (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur) merupakan substansi politik Islam. Sedang partai politik, parlemen, dan negara bukan tujuan politik Islam, tetapi hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.[12]

Dan nampaknya, setelah penerapan serangkaian kebijaksanaan politik Orde Baru, yakni fusi partai politik Islam yang melahirkan PPP tahun 1973 dan penetapan asas Pancasila[13] bagi PPP tahun 1984,  integrasi umat seakan-akan sudah tercapai. Wujud adanya intergrasi itu tidak berarti bahwa persoalan umat sudah selesai. Karena yang terwujud hanyalah integrasi politik. Sedangkan integrasi sosial masih menghadapi tantangan yang berat dengan terjadinya kesenjangan sosial[14] yang tajam.

Terjadinya kesenjangan sosial menimbulkan polarisasi sosial. Polarisasi sosial tidak mustahil akan menimbulkan pertentangan di kalangan umat. Konflik umat nampaknya hanya akan bergeser dari konflik yang bersifat ideologis menuju konflik ekonomi.[15]

Islam Politik Pasca-Soeharto

Dinamika kehidupan politik Indonesia[16] yang merangkak dalam pergerakan reformasi, menjelaskan wajah Islam politik serta manuver-manuver politik partai-partai Islam pasca-Soeharto. Islam politik secara umum dipahami sebagai Islam yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik,[17] atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi.

Ketika Islam politik mengalami penekanan yang luar biasa dari rezim otoriter Orde Baru, sebagian cendekiawan Muslim berusaha mengubah arah strategi perjuangan umat Islam yang tidak hanya melalui saluran politik. Salah satunya adalah Nurcholis Madjid yang mengintrodusir strategi perjuangan umat Islam melalui saluran kultural.
Dengan ungkapannya yang terkenal, yakni: Islam Yes, Partai Islam No, yang kemudian  dikenal dengan Islam kultural.

Gagasan pendekatan kultural dari pada pendekatan politik Islam dalam Islamisasi Indonesia membuka ruang bagi mungkinnya pribumisasi Islam, yakni mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat Muslim punya kesadaran kebangsaan, dan negara Indonesia harus dibangun atas kesadaran ini.[18]

Strategi kultural ini cukup berhasil dengan banyaknya kaum terdidik dari kalangan Islam yang memberikan polesan wajah Islam yang ramah, santun, dan menyejukan dan Islam kultural ini relatif bisa diterima oleh rezim penguasa. Namun, ketika era reformasi, Islam politik yang dulu ditekan oleh rezim otoriter Orde Baru telah menemukan ruang politiknya kembali. Islam politik mengalami euforia kebebasan yang luar biasa. Islam politik menyeruak ke permukaan dan sempat menimbulkan kekhawatiran akan menyebabkan tenggelam kembali Islam kultural.

Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah euforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 32 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.[19]

Jika merujuk ulang tesis yang telah lama dikemukakan Francis Fukuyama bahwa pada akhirnya dunia hanya menyisahkan satu impeccable ideology , yaitu liberal democracy,[20] dapat dikatakan bahwa geliat Islam politik di Indonesia adalah hasil dari demokrasi yang serba permisif setelah sekian lama terjadi otoritasi dan penyelewengan serta penyalahgunaan sistem demokrasi (democracy abuse).

Dengan terbukanya pintu liberalisasi tersebut, publik politik Indonesia merasa terbebaskan dari belenggu kultural dan struktural yang selama ini menyulitkan dan membatasi mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik nasional serta dalam melakukan kontrol sosial politik terhadap proses penyelenggaraan negara. Sebagai akibatnya, muncul berbagai partai sebagai kendaraan politik Islam, baik yang berasas Islam maupun yang tidak. Inilah barangkali yang akan mewarnai wacana politik Islam pasca Orde Baru. Dalam konteks ini, sesungguhnya masyarakat tidak perlu khawatir, bahwa hadirnya partai yang menggunakan idiom dan simbol Islam, bukan merupakan sejarah ulangan periode 50-an. Penggunaan idiom dan simbol Islam itu tampaknya hanya diarahkan untuk mencari dukungan publik yang secara mayoritas beragama Islam.[21]

Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana peta Islam politik pasca-Soeharto atau era reformasi. Dalam konteks ini, wujud Islam politik berupa partai-partai politik yang berbasiskan Islam dengan tidak lagi memiliki imajinasi politik berdirinya negara Islam. Generasi baru umat Islam yang mendirikan partai politik dalam era reformasi adalah generasi yang berbeda visi dan orientasinya, dimana mereka lebih pragmatis dan realistis memasuki sistem politik yang tersedia guna meraih peluang dan kesempatan yang sebesar-besarnya dengan tetap berpijak kepada prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai etik.

Walaupun ada proses formalisasi Islam dalam partai politik berbasiskan Islam, misalnya berasaskan Islam dan memakai simbol-simbol Islam (Bulan Bintang, Ka’bah dan kalimat atau tulisan Arab), hal ini sebagai identifikasi partai saja, bahwa ini menunjukkan partai politik Islam.[22]

Lebih dari itu, arus formalistik menekankan penggunaan bentuk-bentuk Islam yang diikuti secara ketat dan simbol-simbol budaya Arab yang dipercaya sebagai Islam yang murni. Penekanaan penggunaan terma-terma budaya Arab di negara non-Arab seperti Indonesia, menunjukkan pentingnya bagi mereka formalisasi keagamaan. Makna-makna substansif yang bisa diungkapkan dengan bahasa lain dipandang kurang penting dibanding kalau diungkapkan dalam bahasa Arab. Tekanannya di sini terletak pada pengaruh nyata dari kata-kata dari pada makna epistemologis dari pemahaman.[23]

Pada akhirnya, wujud Islam politik dengan berbagai partai politik yang berbasiskan Islam hanya memecah bela kesatuan Muslim Indonesia. Fragmentasi politik pun tidak bisa dipungkiri menajadi ciri tersendiri Islam politik era reformasi. Fragmentasi politik,[24] hal ini ditandai dengan keinginan dari semua elit politik Islam yang ingin menjadi pemimpin daripada mendahulukan untuk perjuangan kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Berdirinya 40 partai politik Islam yang kemudian menyusut karena proses seleksi adalah bentuk dari terfragmentasi umat Islam karena ulah para pemimpinnya yang hanya mementingkan kepentingan sendiri dan kelompoknya.[25]

Menurut Kuntowijoyo, fragmentasi politik yang ditandai dengan banyaknya partai politik yang didirikan elit politik Islam, merupakan sesuatu yang kontraproduktif bagi terbentuknya ukkhuwah islamiyah dan membangun kesejahteraan bagi umat Islam.

Banyaknya pemimpin atau elite politik Islam yang mendirikan partai politik, menurut  Nurcholis Madjid, cerminan dari egoisme politik yang merasuki kalangan elit politik Islam (Abidin Amir, 2003: 284), sedangkan Azyumardi Azra melihat elite politik Islam yang mendirikan partai politik yang berbeda-beda adalah cerminan dari motivasi yang hanya untuk mengejar kekuasaan belaka, bukan demi kepentingan umat Islam.[26]

Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena kemunculan partai-partai Islam, dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai “repolitisasi Islam”. Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah “politisasi” terhadap apa saja termasuk agama, selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejoratif atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiah (devine) seperti agama Islam.[27]

Diluar partai-partai Islam yang telah mengalami fragmentasi, partai lain yang menggusung Gerakan Islam Transnasional, terwakili oleh-dengan diberikannya keleluasaan berserikat kepada-Hizbut Tahrir Indonesia menunjukkan hal lain dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca-Soeharto.

Gerakan Islam Transnasional di mata Hasyim Muzadi, sepenuhnya adalah Arab yang latar budaya, pemikiran dan sosialnya tidak sama dengan Indonesia. Dengan kata lain, bahwa ideologi transnasional tidak berasal dari kepribadian bangsa Indonesia. Gerakan Islam Transnasional bukanlah murni gerakan keagamaan namun merupakan gerakan politik. Untuk menjalankan aktivitasnya, tugas agama dan politik disatukan. Menurut Hasyim, keduanya mempunyai tujuan berbeda. Agama dengan dakwahnya, bertujuan mulia, yaitu menyebarluaskankan ajaran Islam sedangkan politik bertujuan jangka pendek, yakni kekuasaan. Bahasa sederhananya adalah politisasi agama.[28]

Di Indo­ne­sia, jalan pintas bagi te­gaknya ke­adilan dengan me­laksanakan syari’at Islam me­lalui ke­kuasaan, ditempuh lebih dikarenakan miskinnya pengetahuan kelompok-kelompok Islam Transnasional te­ntang pe­ta so­sio­lo­gis Indo­ne­sia yang me­mang tidak sederhana disamping dise­babkan o­le­h ke­gagalan ne­gara me­wujudkan cita-cita kemerdekaan be­rupa te­gaknya ke­adilan so­sial dan te­rciptanya ke­se­jahte­raan yang me­rata bagi se­luruh rakyat. Jika se­cara nasio­nal be­lum mungkin, maka diupayakan me­lalui Pe­rda-Pe­rda (Pe­raturan Dae­rah).

Ane­hnya-di mata Syafii Maarif-se­mua ke­lo­mpo­k yang terkategorikan sebagai Islam Transnasional ini anti de­mo­krasi, te­tapi me­re­ka me­makai le­mbaga ne­gara yang demo­kratis untuk me­nyalurkan cita-cita po­litiknya. Fakta ini de­ngan se­ndirinya membeberkan satu hal: bagi me­re­ka be­ntro­kan antara te­o­ri dan praktik tidak me­njadi  perso­alan.  Dalam  ungkapan  lain,  yang  te­rbaca  di  sini adalah ke­tidakjujuran dalam berpo­litik. Se­cara te­o­ri de­mo­krasi diharamkan, dalam praktik digunakan, de­mi te­rcapainya tujuan.

Me­nye­rtai  ke­prihatinan  ke­lo­mpo­k-ke­lo­mpo­k fundame­ntalis te­ntang ko­ndisi Indone­sia yang jauh dari ke­adilan, te­tapi cara-cara yang me­re­ka gunakan sama se­kali tidak akan se­makin me­nde­katkan ne­ge­ri ini ke­pada cita-cita mulia ke­me­rde­kaan, malah akan me­mbunuh cita-cita itu di te­ngah jalan, Syafii Maarif menyimpulkan bahwa masalah Indone­sia,  bangsa Muslim te­rbe­sar  di  muka bumi,  tidak mungkin dipe­cahkan  o­le­h  otak-o­tak  se­de­rhana  yang  le­bih  me­milih  jalan pintas, kadang-kadang dalam be­ntuk keke­rasan.[29]

Hal lain yang menarik untuk dicermati-meski terlalu naïf untuk dilakukan-dalam diskursus politik Islam era reformasi, disamping meningkatnya eskalasi tindak kekerasan atas nama agama,[30] adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi.

Perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam-selanjutnya ditulis ‘perda syariat’-yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca-Soeharto yang paling sering mendapat sorotan.

Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada, selama ini dianggap sebagai produk Barat yang telah gagal, oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik. Dengan kata lain, islamisasi peraturan daerah perlu diwujudkan.

Padahal, jika melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[31] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan permasalahan karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berbeda-beda.

Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya, seperti seringnya menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik.[32]

Diskursus politik Islam dalam dua sejarah, baik Orde Baru maupun era Reformasi (pasca Soeharto) ditandai dengan adanya perubahan besar secara institusional maupun dalam bentuk pemikiran, telah memberi gambaran ketidakharmonisan sebuah hubungan.  Di rezim Soeharto, hubungan politik ditandai oleh permusuhan timbal-balik. Adanya antagonisme politik antara Islam dan negara antara lain disebabkan oleh idealisme dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik dan formalistik. Dengan demikian, substansi politik yang dikonseptualisasikan dalam konstruk kesatuan nasional negara Pancasila sebagai ideologinya, dipandang sebagai tatanan politik sekuler. 

Sedangkan wacana politik Islam pasca Orde Baru merupakan sebuah babakan baru perjalanan sejarah setelah dalam beberapa dasawarsa mengalami eksperimentasi politik. Politik Islam pasca Orde Baru bukan merupakan “daur ulang” politik masa lampau, dalam pengertian muatan pembentukan pemerintahan Islam, tetapi berakar dari pilihan intelektual setelah mengalami intellectual exercise. Politik Islam di Indonesia tampak sedang mengarah pada upaya untuk melakukan sintesis antara tradisi pemikiran politik yang simbolis dengan yang substansialis. Yang ingin dikedepankan politik Islam pasca Orde Baru ini bukan keinginan untuk mewujudkan cita-cita lama, yakni mewujudkan Islam sebagai dasar negara, tetapi keinginan untuk mewujudkan prinsip-prinsip politik yang tertera dalam al-Qur’an. Demikianlah tansformasi perubahan artikulasi (institusional dan pemikiran keagamaan) Islam politik di Indonesia dalam dua sejarah.

Sedangkan, mensinergikan ideologi-ideologi partai (nasionalis-agamis) dengan cara memahami ulang hal-hal yang dianggap sebagai atau menjadi pembeda ideologi, diharapkan menjadi pokok penting penelitian kedepan, mengingat jika melihat platform partai nasioanalis yang ternyata juga bermuatan dan sarat akan nilai-nilai Islam dimana tidak pernah ditemukan hal-hal yang berseberangan dan bertentangan dengan ajaran Islam. Denga kata lain, upaya politik yang dilakukan partai-partai yang berideologi Islam dapat dianggap sebagai islamisasi politik. Lebih tepat dapat dikatakan sebagai islamisasi partai.

Referensi

Adnan Amal, Taufik dan Syamu Rizal Panggabean. (2004), Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Alvabet.

 Amir, Zainal Abidin. (2003), Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, cet. I,  Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, sdm/litbang kompas resensi.

Effendy, Bahtiar. (1998), Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jakarta: Paramadina.

Hilmy, Masdar. (2007), Muslims’ Approaches to Democracy: Islam and Democracy in Contemporary Indonesia, Journal of Indonesian Islam, Volume 01, No. 01.

Muhtadi, resensi buku bertopik “Potret Islam Politik di Era Reformasi”,www.sinarharapan.co.id.

Mudzakkir, Amin. Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya, http://penelitianku.wordpress.com.

Nasution, Harun. (1979), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, cet. I, Jakarta: UI Press.

Nata, Abudin. (2001), Metodologi Studi Islam, cet. VI, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syamsuddin, M. Din. (1995), The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies Vol. 2, No. 2.

Syamsuddin, M. Din. (1995), Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4.

Suryana, Yayan. Wacana Politik Islam Pasca Orde Baru, http://www.geocities.com.

T.B, M. Rozi,  Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January

Tebba, Sudirman. (1993), Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogjakarta: Tiara Wacana.

Umam, Fawaizul. Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, April 2008.

[1]Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh negara dari solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bisa meredakan pertentangan dari iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota yang lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran (Khaldun, 1976: 180) sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata dalam Metodologi Studi Islam: Model Penelitian Politik (2001: 267).

[2]Kuntowijoyo mengatakan,”Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (ummat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama (Kuntowijoyo, 1997: 27). Lihat, Abudin Nata, Metodologi Studi Islam: Eksistensi Politik dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet.VI, 269.

[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), cet. I, 92.

Misalnya, ketika Nabi Muhammad saw berada di Madinah, bukan hanya mempunyai sifat Rasulullah , tetapi juga mempunyai sifat kepala negara. Dan sebagai kepala negara, maka setelah beliau wafat semestinya diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah corak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap pesoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi, wahyu masih dalam proses penurunan (Nata: 2001: 270).

[4]Aliran kedua (‘Ali ‘Abd al-Rāziq dan Thaha Husain) dari tiga aliran yang ditemukan Munawir Sjadzali dalam penelitiannya, berpendirian bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara (Nata, 2001: 275).

‘Ali ‘Abd al-Rāziq (1888-1966) stated in The Caliphate and the Bases of Power that the authority of Muhammad over the believers was authority of apostleship; it had nothing in common with temporal power. The Qur’ān clearly confirms the opinion that the Prophet had no connection with political royalty. The verses of the Holy Book reinforce one another in affirming that the heavenly work of the prophet did not surpass the limits of the message which was completely foreign to the notion of temporal power. “He who obeys the Prophet obeys God. As for those who turn away, we have not sent you to be their guardian.” (Qur’ān 4: 80). “Your people have denied it, though it is the truth. Say, ‘I am not in charge of you.’ For every announcement there is a term, and you will come to know.” (Qur’ān 6: 66-67)

[5]Sebagaimana ditulis oleh Sudirman Tebba dalam Pendahuluan bukunya,  Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogja: Tiara Wacana, 1993), xv.

[6]Perubahan institusional yang dialami oleh Islam pada masa Orde Baru adalah hancurnya institusi-institusi lama dan munculnya institusi-institusi baru. Perubahan institusi lama ialah terutama fusi partai-partai Islam yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973, kemudian lenyapnya partai Islam setelah PPP mengganti asasnya, Islam dengan Pancasila dalam muktamarnya tahun 1984. Sedangkan pemunculan institusi baru ditandai antara lain dengan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975, lahirnya Ikatan  Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1990 dan Bank Muammalat Indonesia (BMI) tahun 1991 (Tebba: 1993: xv).

[7]Dibidang pemikiran selama Orde Baru, Islam juga banyak mengalami perubahan, baik pada pemikiran klasik maupun munculnya pemikiran modern. Pemikiran klasik ini meliputi fikih (hukum Islam), teologi, tasawuf (mistism), dan timbulnya upaya untuk mendalami filsafat. Sedang perbahan pemikiran modern terlihat pada munculnya ilmu pengetahuan Islam dalam ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosiologi, antropologi, dan psikologi, serta bidang-bidang pemikiran yang terkait dengan ilmu pengetahuan social dan kemanusiaan. Tebba, Ibid.,

Berkembangnya intelektualisme Islam baru di Indonesia selama dua dekade terakhir dapat dianggap berawal dari krisis, dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi politik Islam yang kurang menguntungkan dan akibat-akibat negatif  yang ditimbulkannya terhadap para pemikir dan aktifisnya. Situasi yang tidak menggembirakan ini muncul terutama, meskipun tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sintesa sosio-kultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 115.

[8]Upaya pemerintah Orde Baru dalam memperkuat  perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, diwujudkan dengan adanya pernyataan kelompok militer bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (sebuah gerakan Islam fanatik-yang paling kuat pada tahun 1950-an dan memperoleh basis dukungannya di Jawa Barat-yang berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata) dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia (Samson, Asian Survey, No. 12, Vol. VII, 1968: 1005), sebagaimana dikutip oleh Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 112.

Dan bahkan, pada awal 1967, Soeharto sendiri menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai (Masyumi) itu.” (Crouch, 1981: 201), lihat Effendy, Ibid.,

Hasil pemilihan umum 1971, menunjukkan kekuatan Islam politik merosot. Ini sebagian disebabkan karena, lewat langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai-partai Islam” (Crouch, 1981: 202). Dalam pemilihan umum tersebut, pemerintah menggunakan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai mesin pemilihannya. Lihat, Effendy, Ibid., 116.

Obsesi meraih kemenangan mutlak diseluruh wilayah Indonesia telah mengakibatkan pemerintah Orde Baru menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum. Angkatan bersenjata dan birokrasi menjadi tulang punggung Golkar. Melalui keputusannya yang tidak populer, Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri), mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen 12/1929) yang dimaksudkan untuk ‘memurnikan’ wakil-wakil Golkar di badan-badan legislatif tingkat provinsi dan lokal. Peraturan itu menyebutkan bahwa seluruh anggota kelompok-kelompok fungsional yang ditugaskan di badan-badan pemerintahan di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai-partai politik seperti: PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, dan lain sebagainya (E. Ward, Monash Paper on Southeast Asia No. 2, 1974), lihat, Effendy, Ibid., 117.

Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar rasa putus asa masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil-wakil Islam dalam parlemen. Tetapi hal itu juga tampak dalam komposisi kabinet baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam tertentu benar-benar mulai dibatasi dan konstruk lama partai-partai Islam, khususnya dalam wadah politik (yakni partai Islam), memudar ketika pemerintah Orde baru melakukan rekonstrukturisasi sistem kepartaian pada Januari 1973 (Effendy, 1998: 118).

Kekecewaan masyarakat Muslim terhadap negara juga diperkuat oleh sejumlah kebijakan pemerintah yang dipandang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pada tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru, para pemimpin Muslim khususnya merasa tersinggung kepada Ali Sadikin (Gubernur DKI) yang membolehkan perjudian (Effendy, 1998: 119), Kebijakan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan pemasukan dana pemerintah DKI Jakarta (Vander Kroef, 1971: 57).

Serangan pemerintah Orde Baru paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya, berlangsung pada tahun 1983. Terlepas dari upaya besar-besaran pemerintah Orde Baru untuk mensosialisasikan Pancasila, pemerintah percaya bahwa kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu masih diragukan komitmennya kepada ideologi negara. Dalam pandangan presiden Soeharto, “mereka tidak meyakini Pancasila seratus persen.’ (Kompas, 8 April 1980). Bahkan, ia mengingatkan bahwa ada kelompok-kelompok yang ingin mengubah Pancasila (Jenkins, 1984: 158). Lihat, Effendy (1998: 121).

Desakan ideologi Pancasila memaksa PPP dalam kongresnya Agustus 1984, mengganti Islam dengan Pancasila sebagai dasar ideologinya. Sebelum pemilihan umum 1987, PPP juga mengubah simbolnya, dari Ka’bah menjadi Bintang (salah satu simbol Pancasila (Tamara, Prisma, No. 51, 1988: 49). Lihat, Effendy, Ibid.,

Undang-undang keormasan dikeluarkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1985, organisasi-organisasi mahasiswa dan sosial-keagamaan Islam seperti: NU, Muhammadiyah, MUI, HMI, PMII, harus menerima Pancasila sebagai asas organisasi mereka (Harun, 1986 , Harun dan Mulkhan, 1987, Effendy, tth: 58-128). Lihat, Effendy, Ibid., 122.

Perkembangan politik pemerintah Orde Baru sangat mengecewakan sebagaian besar masyarakat Muslim Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, tetapi bahkan-hingga tahap tertentu-diskursus politik negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa mayoritas penduduknya Muslim. Maka bisa dipahami jika banyak dari mereka yang melihat politik pengasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan deolitisasi terhadap Islam (Tempo, 29 Desember 1984: 12-16). Lihat, Effendy, Ibid.

[9]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993), xvii.

[10]M. Din Syamsuddin, The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 2, 1995.

[11]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993), xvii.

[12]Tebba, Ibid., xviii.

[13] Suharto is considered to have failed in building the infrastructures of democracy, and even he has abused democracy through his authoritarian power. He has masked his authoritarianism by means of what his regime called “Demokrasi Pancasila,” assuming a full-fledged combination between democracy and Indonesian values as embedded in Pancasila principles. Pancasila had been a single lethal mantra of his regime to crush any type of political resistance and opposition. Through this concept, Suharto introduce the principle of “mono-loyalty” (asas mono loyalitas) among Indonesian citizens. Suharto never has hesitated to arrest those who showed unwillingness to fuse into his regime and send them into jail. He, systematically wu\ith his regime, would stigmatize all his political opponents as being anti-Pancasila or not Pancasilais. See, Masdar Hilmy, Muslims’ Approaches to Democracy: Islam and Democracy in Contemporary Indonesia, Journal of Indonesian Islam, Volume 01, No. 01, June 2007.

[14]Pembicaraan kesenjangan sosial dan polarisasi sosial telah ikut mendorong pengembangan pemikiran keagamaan dan politik Islam di Indonesia. Misalnya pemopuleran istilah dhu’afā dan mustadh’afīn untuk menghindari penggunaan istilah kelas tertindas dalam analisis sosial umat (Tebba, 1993: xviii-xix).

[15]Tebba, Ibid.,

[16]Dalam dinamika dari waktu ke waktu, dari kemerdekaan sampai penghujung Orde Baru, Islam politik di Indonesia penuh warna-warni dan kisah perlawanan sekaligus yang selalu terkalahkan: lihat Islam politik di zaman masa kejayaan rezim otoriter Orde Baru merupakan kisah yang selalu mengalami proses marjinalisasi dari ruang politik. Lihat, Muhtadi dalam resensi buku bertopik “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.

[17]Partai Islam pasca-Soeharto mengalami polarisasi yang sangat tinggi, tercerai-berai menjadi 35 partai. Namun, secara garis besar kekuatan politik Islam dapat dikelompokan menjadi tiga faksi besar. Faksi pertama adalah kelompok Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Faksi kedua adalah berbentuk jaringan yang agak longgar dari individu-individu yang mempunyai koneksi sangat kuat dan mengendalikan berbagai posisi krusial di sektor birokrasi, bisnis, dan masyarakat. Mereka adalah mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian berkumpul dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Faksi ketiga yaitu massa Muslim terbesar dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sebagian besar warganya berasal dari kelas menengah ke bawah (sdm/litbang kompas). Lihat, resensi buku: Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I (16 Agustus 2003 kompas.com).

[18]M. Din Syamsuddin, Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4, 1995.

[19]M. Rozi T.B, Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January 2003.

[20]Sebagaimana disampaikan Basri Zain dalam Islamisme Global dan Masa Depan Indonesia: Tantangan atau Harapan? di Seminar Internasional: Indonesia 2009-2014 Prespektif Sosial Budaya dan Politik, 17 Juni 2009.

[21]Yayan Suryana, Wacana Politik Islam Pasca Orde Baru, http://www.geocities.com.

[22]Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, 2.

[23]M. Din Syamsuddin, Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4, 1995.

[24]Fragmentasi politik, yang ditandai banyak partai politik yang didirikan elit politik Islam, bagi Kuntowijoyo, merupakan sesuatu yang kontraproduktif bagi terbentuknya ukkhuwah islamiyah dan membangun kesejahteraan bagi umat Islam. Lihat, Muhtadi dalam resensi “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.

[25]Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, 3.

[26]Muhtadi dalam resensi “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.

[27]M. Rozi T.B, Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January 2003.

[28]Yudi Helmi dalam situs pribadinya, Muhammadiyah, NU, dan Gerakan Transnasional, 19 Mei 2007.

[29]Lihat Ahmad Syafii Maarif ,Prologue: Masa Depan Islam di Indonesia dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Desantara Utama Media, 2009),  7.

[30]Sepanjang 2007, kekerasan atas nama agama tiada berkesudahan; eskalasinya bahkan memuncak. Mengutip laporan SETARA (Institute for Democracy and Peace), ditahun 2007 sekurangnya ada 185 tindak pelanggran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus terbanyak dialami al-Qiyadah (Ahmad Moshaddeq); 68 kasus berupa pelanggaran, kekerasan, penangkapan dan penahanan. 28 kasus pelanggaran terhadap umat Katolik dan Kristen dan Ahmadiyah mengalami 21 kasus kekerasan. Menurut SETARA, pelakunya adalah pemerintah. 92 pelanggaran dilakukan dalam bentuk penangkapan, pembatasan, penahanan, dan vonis terhadap mereka yang dianggap sesat. Sedangkan 93 bentuk pelanggaran lainnya karena negara membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, seperti Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Indonesian Conference on Religion and Peace (IRCP) mengungkap bahwa korban kekerasan atas nama agama lebih banyak menimpa kelompok dari pada individu. ICRP sendiri menghitung, sepanjang 2007, terdapat 32 kelompok yang menjadi korban kekerasan atas nama agama. Lihat, Fawaizul Umam, Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, April 2008.

[31]Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), 98.

[32] Sebagaimana yang telah dipresentasikan oleh Amin Mudzakkir, Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya, di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang / Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara”. Salatiga, 15-18 Juli 2008.

Ahmadiyah: Antara Fakta dan Data

ahmadiah

Pemikiran Mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan Ahmadiyahnya dapat dikategorikan kedalam gerakan teologi sebagaimana pengkategorian Wilfred C. Smith, yang meskipun cenderung memasukkan Ahmadiyah ke dalam gerakan intelektual dengan tafsiran-tafsiran Islam yang bersifat liberal.

Sama halnya gerakan puritanis dan fundamentalis Islam, Ahmadiyah yang menyisakan permasalahan teologis dengan banyaknya angapan penyimpangan-penyimpangan dan asumsi adanya keterlibatan kolonial Inggris dalam membidani kelahirannya. Faktanya, Ahmadiyah muncul lebih dikarenakan tuntutan zaman dan respon terhadap kuatnya dominasi Hindu dan hegemoni Inggris itu sendiri.

Kemunculan Ahmadiyah dengan menekankan aspek-aspek ideologis-eskatologis dapat dikatakan ditujukan untuk mengimbangi rasionalitas yang digusung oleh Sayyid Ahmad Khan dan Mir Ali yang terlalu rasional bagi zamannya. Itulah yang menjadikan ajaran Ahmadiyah lebih bisa diterima dan menurut B’J. Esser, dapat memuaskan emosi keagamaan sebagian umat Islam India.

Disamping menyinggung sedikit penolakan yang diakhiri tindak kekerasan serta ketidaksimpatian terhadap Ahmadiyah, yang lebih dikarenakan kekurangfahaman, makalah ini berusaha mendudukkan secara proporsional pemikiran dan gerakan Ahmadiyah dalam peta pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia lewat penceritaan historis.

Dengan harapan, bisa menyeimbangkan hakikat keberadaan Ahmadiyah yang terlanjur difahami secara sepihak serta bisa meminimalisir ketidakharmonisan hubungan keagamaan yang berlangsung di Indonesia.

 Ahmadiyah: Gerakan Pembaharuan Islam

Merujuk pada al-Qur’ān, surat an-Nūr ayat 55[1] dan Hadits riwayat Abu Daud,[2] bahwa pembangkitan khalifah pasca-Nabi, pada permulaan tiap-tiap abad, yang kemudian lebih dikenal sebagai Mujaddid, dan interpretasi ulang atas ayat tersebut, Ahmadiyah[3] telah melakukan gerakan pembaharuan Islam. Pembaharuan yang dimaksud adalah dinamisasi keimanan, purifikasi akidah dan ibadah, dan reinterpretasi al-Qur’an sesuai dengan tuntutan zaman.

Meski mendapatkan banyak perlawanan dan penyesatan, pembelaan dan penyiaran Islam melalui lima cabang kegiatan dakwah Islam sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam kitab Fath al-Islām (1983), tetap dilakukan oleh Ahmadiyah dengan menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan menerbitkannya, mengedarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat dilanjutkan dengan pembahasan dan diskusi, berkomunikasi langsung lewat kunjungan ceramah dan majelis taklim, berkorespondensi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran Islam.

Resistensi terhadap gerakan Ahmadiyah berupa penyesatan yang dilanjutkan dengan tindak kekerasan,[4] selama ini lebih didasarkan pada kekurang arifan dalam memilah dua golongan Ahmadiyah,[5] dan pemahaman sepihak dalam mengkaji Ahmadiyah yang pada umumnya tidak menggunakan pendekatan historis.

Secara historis, berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad[6] sebagai pendiri gerakan. Sesudah India menjadi koloni Inggris, umat Islam India semakin terisolasi dengan sikap-sikap lama (baca, konservatif) yang masih dipelihara. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama sesudah terjadi pemberontakan Mutiny tahun 1857 M. Titik pijak kelahiran Ahmadiyah dimulai ketika umat Islam India mengalami kemunduran dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan lainnya.

Menurut Wilfred Cantwell Smith, Ahmadiyah lahir di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dengan sikap yang baru, karena infiltrasi budaya dari Inggris, serangan gencar kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh. Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru dan serangan Hindu (Arya Samaj). Selain itu, juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa Sayyid Ahmad Khan[7] dengan Aligarh[8]nya.[9]

Sementara itu, secara internal umat Islam pada masa itu baik di India maupun luar India berada pada kondisi yang memprihatinkan. Sikap jumud dan fatalistik membuat umat Islam statis sehingga umat Islam mengalami kemunduran termasuk dalam bidang keagamaan. Dalam konteks ini, Ahmadiyah lahir sebagai protes atas kemorosotan Islam pada saat itu yang sebagai besar di bawah kungkungan kolonialisme negara-negara Barat.[10]

Pada perkembangannya, Ahmadiyah kini memiliki sekitar 200 juta pengikut setia di seluruh dunia. Hingga saat ini, Jema’at Ahmadiyah telah menyebar ke-120 negara dan dalam penyebaran agama Islam di Amerika dan Eropa, sebenarnya umat Islam perlu mengucapkan rasa terima kasih kepada Jemaat Ahmadiyah. Merekalah yang mendakwahkan Islam secara bijak, jujur, terbuka dan jauh dari aksi kekerasan dan anarkisme. Bahkan di negara yang penduduknya kebanyakan non-Muslim, Ahmadiyah justru lebih bisa diterima. Di Rwanda, Hongkong dan Portugis, Ahmadiyah telah menunjukan eksistensi komunitasnya. Itulah torehan prestasi yang hingga saat ini jauh melebihi komunitas Sunni, Syi’ah, NU, Muhammadiyah, atau kelompok keagamaan lainnya. Inilah torehan tinta emas yang barangkali sulit ditemukan bandingannya dalam komunitas umat Islam. Tetapi prestasi itu tetap saja tidak membuat umat Islam di Indonesia terutama, bisa menerima Ahmadiyah sebagai anak kandung Islam. Kemajuan dalam pengembangan sistem informasi seakan tidak memiliki arti, tatkala pemikiran keagamaan yang dikembangkannya dianggap melenceng jauh dari landasan normatif yang sebenarnya juga masih dalam perdebatan.[11]

Doktrin Ahmadiyah

Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 500 ribu Ahmadie-sebutan untuk pengikut Ahmadiyah. Menurut data JAI (Jema’at Ahmadiyah Indonesia),[12] jumlah pengikutnya secara nasional antara 2-3 juta orang yang di sensus KTP tertulis Islam.[13] Perkembangan keanggotaan ini menunjukkan dapat diterimanya ajaran-ajaran Ahmadiyah berupa doktrin-doktrin penting yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan al-Mahdi dan al-Masih, dan berkait erat dengan masalah mujaddid, kenabian, wahyu, khilafah serta jihad, meski doktrin-doktrin tersebut tidak paralel dengan pandangan umat Islam pada umumnya, termasuk para ulama di Indonesia.

Dari hasil penelitian LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) ditemukan butir-butir kesesatan dan penyimpangan Ahmadiyah ditinjau dari ajaran Islam yang sebenarnya.[14] Secara ringkas, diketahui bahwa Ahmadiyah mempunyai nabi dan rasul sendiri, kitab suci, tanggal, bulan, tahun, dan tempat untuk haji sendiri serta khalifah sendiri, yang sekarang khalifah yang ke 4 yang bermarkas di London Inggris bernama: Thahir Ahmad.

Senada dengan itu, umumnya para ulama di dunia menyatakan bahwa Ahmadiyah itu bukan bagian dari Islam. Sebab doktrin-doktrin yang mereka ajarkan sudah terlalu jauh menyimpang dari aqidah Islam. Diantaranya apa yang telah diedarkan oleh Liga Fiqih Islam (Majma’ Fiqih Islami) tentang sesatnya doktrin Ahmadiyah, seperti belum berakhirnya kenabian.[15]

Pokok permasalahan yang menyebabkan ketidaksepahaman mayoritas ulama khususnya dari kalangan sunni adalah perihal kewahyuan. Dalam kasus Ahmadiyah, konsepsi wahyu yang berkait erat dengan kenabian, menjadi sumber kontroversi utama berupa adanya kitab Tadzkirah disamping sang penerima wahyu itu sendiri, yakni Mirza Ghulam Ahmad.

 Gerakan Ahmadiyah Indonesia[16]

Masuknya  Ahmadiyah ke Indonesia melalui pelajar Sumatera, yang belajar di India dan kembali ke Indonesia sekitar tahun 1925. Mereka ini membawa tafsiran baru terhadap Al-Qur’an yang rasional. Karya-karya pemikir Ahmadiyah mulai menjadi bahan bacaan yang menarik sampai Haji Agus Salim (tokoh Sarekat Islam) menyatakan bahwa dari segala jenis tafsir Al-Qur’an, tafsir Ahmadiyalah (baca, The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali[17]) yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar. Kegiatan Ahmadiyah menyebar di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi,

Banjarnegara, Wonosobo, Kuningan, Lombok Timur, Purwokerta dan daerah lainnya.[18]

Namun, data yang ada menunjukkan bahwa faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Pada tanggal 10 Desember 1928, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila,[19] maka GAI juga berasaskan Pancasila. Anggaran Dasar GAI telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. Dan juga telah termasuk dalam Daftar Organisasi Kemasyarakatan Lingkup Nasional yang terdaftar di Depdagri.[20]

Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI menerbitkan seratusan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia serta lembaga pendidikan formal bernama Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

Sedangkan fokus gerakan dakwahnya, Ahmadiyah Lahore lebih menitikberatkan pada aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiistik,[21] yakni adanya suatu keyakinan yang lebih menekankan pada kehadiran  Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi atau “Juru Damai” yang mempunyai tugas untuk memperstukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang akidah maupun syri’ah. Lebih dari itu, al-Mahdi juga di yakini bertujuan mempersatukan kembali sebuah agama, terutama agama agama Nashrani dan Hindu, agar melebur ke dalam Islam.[22]

Sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam, Ahmadiyah (Lahore) dapat dikatakan  tidak menyimpang dari al-Quran dan al-Sunnah, baik dibidang akidah maupun syariah. Secara rinci akidah Ahmadiyah telah dirumuskan oleh Maulana Muhammad Ali, dalam bukunya Al-Bayān fi al-Rujū’ ila al-Qur’ān (1930: 33-35). Dari kesepuluh rumusan akidah tersebut, tidak diketemukan penyimpangannnya dari ajaran Islam.[23]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akidah Ahmadiyah Lahore lebih menitik tekankan pada penjagaan akidah yang telah ditegakkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw adalah Khātam al-Nabiyyīn dalam arti penutup (segel) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadie (Lahore). Sejarah pun, menjadi saksi. Akidah ini mulai tergoyang dan menyimpang sepeninggalan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1914, kemudian ditegakkan kembali oleh sekretaris Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, yaitu Maulana Muhammad Ali dengan berdirinya Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore.

 Perda Syariat, SKB dan Eksistensi Ahmadiyah

Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada, selama ini dianggap sebagai produk Barat yang telah gagal, oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik. Dengan kata lain, islamisasi peraturan daerah perlu diwujudkan.

Padahal, jika melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[24] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan permasalahan karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berbeda-beda. Kaum minoritas non-Muslim, perempuan, dan Ahmadiyah-adalah  targeted group dari perda syariat ini. Secara hukum mereka diminoritisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan banyak haknya sebagai warga negara. Khusus dalam isu Ahmadiyah, beberapa daerah bahkan telah menerbitkan peraturan yang secara khusus melarang aktivitas keorganisasian mereka, jauh hari sebelum pemerintah pusat melakukan hal yang sama.

Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya. Mereka, misalnya, sering menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik. Dengan menggunakan terma-terma demokrasi pula mereka memandang kehadiran kelompok minoritas sebagai sesuatu yang menyempal dan oleh karena itu harus diekslusikan. Ini terjadi dalam kasus peminoritisasian terhadap Ahmadiyah di Indonesia pasca-Soeharto. Banyak elit Muslim dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah menekan negara untuk melarang eksistensi Ahmadiyah di Indonesia dengan menggunakan segala mekanisme formal yang tersedia.[25] Rupanya tekanan mereka bekerja efektif, sehingga negara-melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung-akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)[26] pada tanggal 9 Juni 2008 untuk melarang aktivitas Ahmadiyah di Indonesia.[27]

Argumentasi yang digunakan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah ini didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 yang berisi larangan menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan terhadap penafsiran suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaaan dari agama-agama itu tetapi menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berdasarkan argumentasi itu, negara memandang Ahmadiyah sebagai bukan Islam dan karenanya tidak berhak mengaku Islam. Mereka dibolehkan berkeyakinan seperti sekarang dengan syarat tidak menggunakan atribut agama Islam.[28]

Hal demikian sungguh mengherankan kalau mengingat kehadiran Ahmadiyah yang telah ada di Indonesia sejak 1924 dan sepanjang itu pula mereka memperoleh hak untuk berkembang. Terlebih, selama ini sikap toleran dan bersedia menenggang rasa perbedaan di antara kita acapkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda. Dalam konteks ini, maka membangun fikih toleransi[29]-meminjam istilah Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta-menjadi sangat penting.

 Fikih Toleransi

Menurut Amin Abdullah, fikih toleransi lebih banyak bertumpu pada cara berpikir, cara bergaul, dan cara berinteraksi. Sebastiano Mosso, dalam bukunya Tolleranza e Pluralismo, mengatakan bahwa toleransi pada hakikatnya berpangkal pada kesadaran diri manusia akan bisikan nurani yang benar, lurus, dan sehat.

Dengan demikian, fikih toleransi didasarkan atas sikap inklusif, pluralis, dan multikulturalis terhadap sesama. Fikih toleransi mengandaikan pilihan dasar positif manusia atas keadaan antar sesamanya yang terbelenggu dalam ketertindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan.

Sikap dasar itu adalah kesediaan untuk menerima, menghargai, dan menghormati sesama sebagai insan yang memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Karenanya, fikih toleransi menuntut adanya keikhlasan dan keberanian moral manusia untuk mengakui serta menerima perbedaan dalam hidup sehari-hari tanpa disertai tindakan anarkis dan radikal, karena hal itu jelas bertentangan dengan Islam sebagai rahmatan lil’ālamīn.

Walhasil, jalan keluar di tengah konflik Ahmadiyah, menurut Maksun, dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, bukan dengan cara meminta mereka untuk kembali kepada Islam mainstream atau keluar dari Islam dan membuat agama baru seperti disarankan Menteri Agama Maftuh Basyuni, melainkan dengan cara mencabut fatwa sesat MUI[30] dan membiarkan mereka untuk eksis hidup berdampingan dengan umat yang lain, dengan tetap mengedepankan sikap toleransi yang menuntut para pemeluk agama saling menghargai perbedaan dan menerima keyakinan masing-masing (Suara Merdeka, Jum’at, 25 Januari 2008).[31]

Sementara itu, dalam pembelaannya terhadap Ahmadiyah, Imam Ghazali Said[32] menyebutkan kiprah dan interaksi Ahmadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI),  dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak 1920-an sampai 1980-an.

Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (ketua panitia pemulihan Pemerintahan RI dan penyusun program bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, Kowani, dan KNI.

Dalam rentang waktu tersebut, mereka juga intens berinteraksi, baik sosial, politik, ekonomi, dan teologis dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam terpopuler di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Bahkan, dialog teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan KH A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya menyatakan bahwa GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI, R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB). Juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Dengan demikian, apresiasi terhadap Ahmadiyah perlu dilakukan dengan mempertanyakan ulang keberanian umat Islam dalam menyesatkan Ahmadiyah dan menilai mereka sebagai bukan Muslim. Sebuah bentuk penilaian yang lebih didasarkan hanya pada permasalahan teologi[33] yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia.

Lebih jauh, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, di antaranya Al-Farq baina al-Firāq (al-Baghdadi), Al-Milāl wa al-Nihāl (Syahrastani), Al-fashl baina al-Milāl wa al-Nihāl (Ibn Hazm), Al-Iqtishād fi al-I’tiqād (al-Ghazali), Maqālat al-Islamiyyīn wa Ikhtilāf al-mushallīn (al-Asy’ari), Ghazali Said bersama beberapa kiai perwakilan seluruh provinsi di Indonesia, yang difasilitasi Komunitas Mata Air (Musthofa Bisri) dan Wahid Institute (Abdurrahman Wahid), pada 22-25 Maret 2008 di Jakarta, menyimpulkan bahwa manusia yang berucap dua kalimah syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, sekaligus tidak menentang satu pun dari dua rukun iman dan Islam, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipil[34]nya harus di lindungi.

Kriteria Muslim-Mukmin sebagaimana tersebut, mendapat pembenarannya setelah adanya kajian terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, yang ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin.[35]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesamaan yang tampak dalam keberagaman, selama ini telah tersamarkan dengan adanya keleuasaan formalisme syariah dalam kehidupan bernegara pasca runtuhnya rezim Soeharto. Ditandai dengan menguatnya kelompok Islam kanan yang berandil besar dalam menghilangkan keberagamaan.

Ironisnya, Indonesia dianggap sebagai laboratorium kerukunan umat beragama, lewat pernyataan Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini dan pendiri komunitas Sant` Egidio, Andrea Riccardi dalam pidato mereka pada pembukaan seminar internasional dengan tema: Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in which to Live Together,[36] yang digelar pada 4 Maret 2009 di Roma.

Faktanya, kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama. Penerimaan perbedaan tanpa pemahaman yang mendalam akan arti dan hakikat perbedaan tersebut ternyata masih sangat rentan terhadap godaan kepentingan primordialisme dan egosentrisme individu maupun kelompok.

Dengan kata lain, gangguan kedamaian itu akan mudah meluas manakala sentimen dan simbol-simbol keagamaan dipakai sebagai sumbu atau pemicu.

 Penutup

            Keberlangsungan gerakan Ahmadiyah sampai kini sudah 120 tahun lamanya semenjak didirikan pada tahun 1889, dan memasuki tahun yang ke-85, terhitung sejak kali pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1924. Di Indonesia, pada awalnya gerakan Ahmadiyah terapresiasi sedemikian rupa. Namun, di era reformasi ini, keberpihakan umat Islam dan pemerintah kepada Ahmadiyah pada umumnya berbalik 180 derajat.

Suatu keadaan yang menggambarkan adanya ketidakharmonisan sebuah hubungan yang lebih didasarkan pada sentimen akidah ditambah kekurangdewasaan dalam menyikapi perbedaan teologis. Keadaan ini memposisikan Ahmadiyah di antara fakta dan data. Ahmadiyah berada pada kenyataan dimana ajaran-ajaran mesiahnya kurang bisa diterima. Meski tidak sedikit pula yang bersimpati kepadanya dan bahkan berterima kasih pada kiprah serta peran serta Ahmadiyah dalam berdakwah. Ahmadiyah disinyalir menyelewengkan akidah sebagaimana Mirza Ghulam Ahmad sendiri dinyatakan oleh anaknya, yakni Mirza Bassyiruddin Mahmud Ahmad (Ahmadiyah Qadiyan) bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengalami pergeseran akidah, yaitu mengingkari “nubuatnya” sendiri.

 

 REFERENSI

Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Burhanuddin, Asep. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Friedman, Yohanan. Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadī Religious Thought and Its Medieval Background, London: University of California, 1989.

Kholiludin, Tedi. Ahmadiyah, Anarkhisme dan Pluralitas Pemikiran science-lens.blogspot.com.

Maksum, MUI, Ahmadiyah, dan Fikih Toleransi, Suara Merdeka, Jum’at, 25 Januari 2008.

Mudzakir, Amin, Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur

dan Tasikmalaya, penelitianku.wordpress.com., Oktober 24, 2008.

———–, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dinilai Terbaik, www. depag.go.id, 28 Mei 2009.

Nasution, Harun dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensklopedia Islam Indonesia.

Nurhasim, Ahmad: resensi: Memahami Ahmadiyah yang Kontroversial. , 24 Februari 2006.

Said, Imam Ghazali, Membela Ahamdiyah yang dizalimi, Jawa Pos, 28 April 2008.

Sarwat, Ahmad Butir – Butir Kesesatan Ahmadiyah, July 19, 2005 1:47 PM

http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg01055.html.

Umam, Fawaizul. Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, 2008.

Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,  Cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Wikipedia, the free encyciclopedia.

http://www.ahmadiyah.org

www. depag.go.id.

http://www.icrp-online.org.

http://www.gusdur.net.


[1]“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (al-Nūr , 24: 55).

[2]”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini pada permulaan tiap-tiap abad orang yang akan memperbaharui baginya agamanya” (HR Abu Daud).

[3]Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alqadiani, Mujaddid abad ke-14 Hijriyah yang bergelar Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT, yang ia terima pada tanggal 1 Desember 1888 (www.ahmadiyah.org).

[4]Mengutip laporan SETARA (Institute for Democracy and Peace), ditahun 2007 sekurangnya ada 185 tindak pelanggran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ahmadiyah mengalami 21 kasus kekerasan. Menurut SETARA, pelakunya adalah pemerintah. 92 pelanggaran dilakukan dalam bentuk penangkapan, pembatasan, penahanan, dan vonis terhadap meeka yang dianggap sesat. Sedangkan 93 bentuk pelanggaran lainnya karena negara membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, seperti Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Indonesian Conference on Religion and Peace (IRCP) mengungkap bahwa korban kekerasan atas nama agama lebih banyak menimpa kelompok dari pada individu. ICRP sendiri menghitung, sepanjang 2007, terdapat 32 kelompok yang menjadi korban kekerasan atas nama agama. Lihat, Fawaizul Umam, Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, April 2008.

Kasus kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah di berbagai daerah seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan lainnya beberapa bulan terakhir membuktikan bahwa “main hakim” sendiri masih menjadi modus operandi kelompok Islam dominan dalam menyelesaikan persoalan internal umat Islam. Yang lebih parah, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seolah buta dan bisu menyaksikan sebagian umat Islam yang lain paham itu dianiaya tanpa ada pembelaan. Kasus ini dianggap “angin lalu” yang tidak perlu diperhatikan. Lihat, Ahmad Nurhasim dalam resensi; Memahami Ahmadiyah yang Kontroversial dari buku Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS Yogyakarta, Cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2005 (www.icrp-online.org, 24 Pebruari 2006).

[5]Dua golongan Ahmadiyah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Qodiyan dan Lahore mengalami kesimpangan pemikiran yang krusial dalam menyakini kebenaran akan adanya Nabi Pamungkas. Dalam hal ini pihak Qadiyan, khususnya Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah. nampak telah menyalahpahami atas  apa yang telah diyakini pendiri Ahmadiyah itu sendiri, yakni Mirza Ghulam Ahmad, bahwa Muhammad saw adalah Nabi terakhir, sesudahnya tidak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru sebagaimana tertulis di-Ayyām al-Shulh, hlm.74 (www.ahmadiyah.org).

Sedangkan Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad meninggal, masih akan tetap muncul nabi-nabi lain sampai hari akhir. Nabi-nabi yang muncul setelah Nabi Muhammad disebut sebagai nabi buruzi, yaitu nabi yang tidak membawa syariat. Lihat, Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta: LKis, 2005), hlm. 101.

Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad), beberapa saat setelah ia terpilih menggantikan Maulvi Hakim Nuruddin. setelah ia wafat pada tanggal 13 Maret 1914, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa; (1) Masih Mau’ud itu betul-betul Nabi, (2) beliau itu ialah Ahmad yang diramalkan dalam al-Qur’an (61: 6), dan (3) semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, sekalipun tidak mendengar nama beliau, hukumnya tetap kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, hal. 35). Lihat, GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA: Penegak Akidah Khatamun-Nabiyyin (www.ahmadiyah.org).

[6]Mīrzā Ghulām Aḥmad (Urdu: ميرزا غلام احمد, ਮਿਰਜ਼ਾ ਗੁਲਾਮ ਅਹਮਦ; February 13, 1835 – May 26, 1908 CE, or Shawal 14, 1250 – Rabi’ al-thani 24, 1326 AH) was a controversial Indian religious figure and founder of the Ahmadiyya  movement within Islam. He claimed to be the Mujaddid (divine reformer) of the 14th Islamic century, the Promised Messiah (“Second Coming of Christ”), the Mahdi awaited by the Muslims in the latter-days, and a “subordinate prophet”, with some qualifications. He declared that Jesus (Isa) had in fact survived the crucifixion and later died a natural death, after having migrated towards Kashmir and claimed that he had appeared in the spirit and power of Jesus. His claims, teachings, writings, prophecies and religious activities caused grave concern among religious circles particularly those of Christianity and Islam. He traveled extensively across the subcontinent of India preaching his new religious ideas and ideals and won a sizable following. He is known to have engaged in numerous debates and dialogues with the Muslim, Christian and Hindu priesthood and leadership. He founded the Ahmadiyya movement in 1889. The mission of the movement, according to him, was the propagation of Islam in its pristine form. He authored around 80 books on various religious, spiritual and theological issues. Many of his books bear a polemic and vindicatory tone. He promoted the peaceful propagation of Islam and emphatically argued against the necessity of Jihad in its form of physical fighting in the present age. He claimed to have received true dreams, visions and revelation even as a youth. In 1869 Muhammad Husein, a leader of the Ahl al-Hadits sect who had known Ahmad from childhood, came to Batala. Upon Ahmad’s visit to Batala, he was requested to hold a debate with Hussein. It is said that he sat himself in the Mosque opposite Muhammad Hussein where crowds had gathered eagerly awaiting an intellectual exchange between the two. He began by asking him what his position was regarding a certain theological point. Upon hearing his answer and finding that it was in accordance with the Islamic teaching he exclaimed “If that is your view it is most reasonable. There is nothing to be said against it” and he then left to the disapproval of his supporters who, thinking themselves humiliated, began shouting. Ahmad however was not moved and upon his return to Qadian claimed that God had revealed to him His appreciation regarding this matter and told him: “God is Pleased with your humble ways, He will shower his blessings on you, so much so that Kings would seek blessings from your garments” (Baraheen-e-Ahmadiyya, Vol IV p 520). See, Wikipedia, the free encyciclopedia.

[7]Sir Syed Ahmed Khan, (also Sayyid Ahmad Khan) (Urdu: سید احمد خان} (October 17, 1817 – March 27, 1898), commonly known as Sir Syed (although this is technically incorrect; he would have properly been called “Sir Ahmed” as Sayyid is itself a title in this case), was an Indian educator and politician, and an Islamic reformer and modernist. Sir Syed pioneered modern education for the Muslim community in India by founding the Muhammedan Anglo-Oriental College, which later developed into the Aligarh Muslim University. His work gave rise to a new generation of Muslim intellectuals and politicians who composed the Aligarh movement to secure the political future of Muslims in India. He is widely considered as a ‘traitor’ in leftist and patriotic circles of India.

One of the most influential Muslim politicians of his time, Sir Syed was suspicious of the Indian independence movement and called upon Muslims to loyally serve the British Raj. He denounced nationalist organisations such as the Indian National Congress, instead forming organisations to promote Muslim unity and pro-British attitudes and activities. Sir Syed promoted the adoption of Urdu as the lingua franca of all Indian Muslims, and mentored a rising generation of Muslim politicians and intellectuals. Although hailed as a great Muslim leader and social reformer, Sir Syed remains the subject of controversy for his views on Hindu-Muslim issues. See, Wikipedia, the fee encyclopedia.

[8]Aligarh Muslim University is a Residential Academic Institution. It was established in 1875 by Sir Syed Ahmed Khan and in 1920 it was granted a status of Central University by an Act of Indian Parliament. It is located in the city of Aligarh, Uttar Pradesh, India. Modelled on the University of Cambridge, it was among the first institutions of higher learning set up during the British Raj. Originally it was Mohammedan Anglo-Oriental College, which was founded by a great Muslim social reformer Sir Syed Ahmed Khan. Sir Syed Ahmed Khan, a great social reformer of his age felt the need for modern education and started a school in 1875 which later became the Mohammedan Anglo Oriental College and finally Aligarh Muslim University in 1920. In some courses, seats are reserved for students from SAARC and Commonwealth countries. The University is open to all irrespective of caste, creed, religion or gender (Wikipedia, the fee encyclopedia).

[9]Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta: LKis, 2005), hlm. 58.

[10]www.icrp-online.org, 24 Pebruari 2006.

[11]Lihat Tedi Kholiluddin, Ahmadiyah, Anarkhisme dan Pluralitas Pemikiran (science-lens.blogspot.com).

[12]AD&ART Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia disesuaikan dengan Organisasi Pusat Ahmadiyah di Qadian. Nama Ahmadiyah telah diganti dari Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI) menjadi Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (AADI), dan Mukatamar bulan Desember 1949 di Jakarta selain menyetujui AD&ART yang baru, juga mengganti nama organisasi dari Anjuman Ahmadiyah Indonesia menjadi Jema’at  Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi ini telah mendapat pengesahan dari pemerintah republik Indonesia berupa badan hukum dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 26 tanggal 31 Maret 1953. Lihat, Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 196.

Dalam berdakwah, Ahmadiyah Qadiyan menggunakan sikap yang sopan, santun, dan tidak suka menempuh jalan kekerasan. Media yang digunakan dakwah antara lain: penerbitan, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam 100 bahasa, lembaga pendidikan, seminar, dialog, kajian buku dan televisi melalui Muslim Television Ahmadiyah (MTA). Media yang ini terbilang sangat canggih, karena media elektronik tersebut mampu menjangkau kawasan seluruh dunia dan beragam latar belakang agama. Dalam berbagai kesempatan dakwah, orang-orang Ahmadie sangat percaya diri menyebarkan ajarannya dengan cara berdebat terbuka, sehingga, iklim dialogis sebenarnya mereka miliki sebagian dari strategi dakwah. Lihat, Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta: LKis, 2005) dalam Nurhasim, resensi; Memahami Ahmadiyah yang Kontroversial, (www.icrp-online.org, 24 Pebruari 2006).

[13]Jawa Pos, 28 April 2008.

[14]kesesatan dan penyimpangan itu bisa diringkas sebagai berikut: 1. Ahmadiyah  Qadyan berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad dari India itu adalah nabi dan rasul. Siapa saja yang tidak mempercayainya adalah kafir dan murtad. 2. Ahmadiyah Qadyan mempunyai kitab suci sendiri yaitu kitab suci “Tadzkirah”. 3. Kitab suci “Tadzkirah”adalah kumpulan “wahyu” yang diturunkan “Tuhan” kepada “Nabi Mirza Ghulam Ahmad” yang kesuciannya sama dengan Kitab Suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci yang lain seperti; Taurat, Zabur dan Injil, karena sama-sama wahyu dari Tuhan. 4. Orang Ahmadiyah mempunyai tempat suci sendiri untuk melakukan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qadyan di India. Mereka mengatakan: “Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam Haji Akbar ke Qadyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadyan adalah haji yang kering lagi kasar”. Dan selama hidupnya “Nabi” Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah pergi haji ke Makkah. 5. Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama-nama bulan Ahmadiyah adalah: 1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ihsan 7. Wafa  8. Zuhur  9. Tabuk 10. Ikha’ 11. Nubuwah  12. Fatah. Sedang tahunnya adalah Hijri Syamsi yang biasa mereka singkat dengan HS. Dan tahun Ahmadiyah saat penelitian ini dibuat 1994M/ 1414H adalah tahun 1373 HS. Kewajiban menggunakan tanggal, bulan, dan tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas adalah perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua yaitu: Basyiruddin Mahmud Ahmad. 6. Berdasarkan firman “Tuhan” yang diterima oleh “Nabi” dan “Rasul” Ahmadiyah yang terdapat dalam kitab suci “Tadzkirah” yang berbunyi: Artinya: “Dialah Tuhan yang mengutus Rasulnya “Mirza Ghulam Ahmad” dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya. (kitab suci Tadzkirah hal. 621). 7. Secara ringkas, Ahmadiyah mempunyai nabi dan rasul sendiri, kitab suci sendiri, tanggal, bulan  dan tahun sendiri, tempat untuk haji sendiri serta khalifah sendiri yang sekarang khalifah yang ke 4 yang bermarkas di London Inggris bernama: Thahir Ahmad. Semua anggota Ahmadiyah di seluruh dunia wajib tunduk dan taat tanpa reserve kepada perintah dia. Orang di luar Ahmadiyah adalah kafir, sedang wanita Ahmadiyah haram dikawini laki-laki di luar Ahmadiyah. Orang yang tidak mau menerima Ahmadiyah tentu mengalami kehancuran. 8. Berdasarkan “ayat-ayat” kitab suci Ahmadiyah “Tadzkirah”. Bahwa tugas dan fungsi Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul yang dijelaskan oleh kitab suci umat Islam Al Qur’an, dibatalkan dan diganti oleh “nabi” orang Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.

[15]Ahmad Sarwat, Butir – Butir Kesesatan Ahmadiyah, July 19, 2005 1:47 PM

http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg01055.html.

[16]GAI adalah Gerakan yang mandiri, tidak ada hubungan organisatoris dengan organisasi manapun di dunia, termasuk dengan Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) Lahore. Hubungan yang ada-hanyalah-bersifat spiritual saja. Lihat, GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA: Penegak Akidah Khatamun-Nabiyyin (www.ahmadiyah.org).

[17]In 1902 Maulana Muhammad Ali became the editor of the Review of Religions, one of the first Islamic journals in English. When Mirza Ghulam Ahmad established the Sadr Anjuman Ahmadiyya, the first governing body of the Ahmadiyya Movement, in 1905, he appointed Maulana Muhammad Ali as the Secretary of its executive council. (The successor to this body was the Ahmadiyya Anjuman Ishaat-i-Islam of Lahore.) At the time of Mirza Ghulam Ahmad’s death in 1908, he was succeeded by Maulana Hakim Noor-ud-Din, Khalifatul Masih I., who became Head of the Ahmadiyya Movement (Wikipedia, the fee encyclopedia).

[18]Nurhasim, resensi; Memahami Ahmadiyah yang Kontroversial, (www.icrp-online.org, 24 Pebruari 2006).

[19]Undang-undang keormasan dikeluarkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1985, organisasi-organisasi mahasiswa dan sosial-keagamaan Islam seperti: NU, Muhammadiyah, MUI, HMI, PMII, harus menerima Pancasila sebagai asas organisasi mereka (Harun, 1986 , Harun dan Mulkhan, 1987, Effendy, tth: 58-128). Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 122.

[20]SUARA KARYA, 9 Agustus 1994, hlm. VIII, pada: D. AGAMA, 10.

[21]Dalam rumusannya, akidah Ahmadiyah Lahore menyatakan percaya dengan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara sekalian Nabi. Dengan datangnya Nabi, agama telah disempurnakan oleh Allah. Oleh sebab itu sepeninggalnya tidak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani dan menegakkan Islam. Disamping mengakui bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 H dan bukan Nabi dan tak pernah mengaku Nabi, juga meyakini bahwa Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang terpilih di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, dengan kata lain, sebagai orang yang diberi sabda Allah. Anugerah semacam itu acapkali disebut Zill an-Nubuwah, artinya bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata zilullah, demikian pula kata zill an-Nabi atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi. Ahmadiyah juga mengakui akan kebenaran Hadis Nuzul al-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi , Al-Qur’an sendiri dengan kata-kata yang jelas telah mengatakan bahwa Nabi Isa as telah wafat, maka mereka percaya bahwa al-Masih yang akan turun pada akhir zaman bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya ada persamaannya dengan Nabi Isa as. Lihat Akidah Ahmadiyah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh sekretaris Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Al-Bayān fi al-Rujū’ ila al-Qur’an (1930: 33-35).

[22]Pengantar Azumardi Azra dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta: LKis, 2005). Hlm. X.

[23](1) percaya dengan yakin akan Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Suci Muhammad saw. (2) percaya dengan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara sekalian Nabi. Dengan datangnya beliau, agama telah disempurnakan oleh Allah. Oleh sebab itu sepeninggal beliau tak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani dan menegakkan Islam. (3) percaya dengan yakin bahwa Quran Suci adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Tak ada satu pun ayat yang harus dihapus (mansukh) dan ayat-ayatnya tetap murni untuk selama-lamanya. Sampai hari Qiyamat Quran menjadi pedoman petunjuk bagi kaum Muslimin. (4) mengakui bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 Hijriyah. Beliau bukan Nabi dan tak pernah mengaku Nabi.

(5) percaya bahwa Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang dipilih oleh Allah di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, artinya orang yang diberi sabda Allah. Anugerah semacam itu acapkali disebut Zillun-Nubuwah, artinya bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata Zilullah, demikian pula kata Zillun-Nabi atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi yang sungguh-sungguh. (6) barang siapa mengucapkan kalimah syahdat, Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadarrasulullah, dan percaya akan arti dan maksudnya, maka ia adalah orang Islam, bukan orang kafir. (7) menghormati dan memuliakan para sahabat, para Wali dan para Ulama besar Islam. Kita tak membeda-bedakan penghormatan kita terhadap para sahabat, para Wali, para Muhaddats dan para Mujaddid.

(8)  menyebut kafir kepada orang Islam adalah perbuatan yang amat keji. Oleh sebab itu, tak akan bersalat makmum di belakang siapa saja yang menyebut kafir kepada orang Islam; hal ini untuk menunjukkan betapa tak suka kita terhadap perbuatan semacam itu; sikap demikian kita lakukan terhadap siapa saja, baik itu orang Ahmadi atau pun bukan. Sebaliknya, kita mau bersalat makmum di belakang siapa saja yang tak mengafirkan Islam.

(9) mengakui akan benarnya Hadis Nuzulul-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi oleh Quran Suci sendiri dengan kata-kata yang terang telah berfirman bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat, maka kita percaya bahwa Masih yang akan turun pada akhir zaman bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya ada persamaannya dengan Nabi Isa a.s. (10) percaya bahwa tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, dan kita percaya pula bahwa tak ada Imam Mahdi yang datang menyiarkan Islam dengan pedang. Adapun Imam Mahdi yang sesungguhnya ialah seorang Mujaddid dan dianugerahi petunjuk dan sabda Allah untuk menegakkan, menjaga dan menghayati agama Islam yang sejati (www.ahmadiyah.org).

[24]Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.

[25]Secara normatif mereka merujuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa mengenai sesatnya Ahmadiyah telah dua kali dikeluarkan MUI pada : (1)  Musyawarah Nasional II Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980; dan (2) Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. Kedua fatwa MUI ini sebelumnya tidak pernah menentukan kebijakan negara. Pengaruhnya hanya bersifat moral dan jangkauannya hanya terbatas pada komunitas Islam tertentu saja (penelitianku.wordpress.com).

[26] SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, disinyalir hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa “paling Islam” dan rekomendasi fatwa MUI dan Bakorpakem. Sedangkan eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakorpakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat (Jawa Pos, 28 April 2008).

[27]Isi SKB tersebut berisi enam (6) butir: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agam; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan; (4)  Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini (penelitianku.wordpress.com).

[28]Disarikan dari Amin Mudzakir, Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya, penelitianku.wordpress.com, Oktober 24, 2008.

[29]Lihat, MUI, Ahmadiyah, dan Fikih Toleransi, Suara Merdeka, Jum’at, 25 Januari 2008.

[30]Fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat fatwa MUI 15 Juli 2005, muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling Islam, menyerang kantor pusat JAI di Parung, Bogor. Selanjutnya, tindak kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kantor-kantor JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Ghazali Said menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah mengganggu secara fisik -apalagi menyerang- kelompok Islam lain yang berbeda. MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Dengan kata lain, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Pedoman MUI banyak didasarkan pada apa yang dikemukakan Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Al-Qur’an, dan buku Hartono Ahmad Jaiz, Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru.
MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain mestinya menyadari bahwa vonis “luar Islam” akan berakibat tindak kekerasan dan mengurangi secara drastis persentase umat Islam Indonesia. Lihat, Imam Ghazali Said dalam Membela Ahamdiyah yang dizalimi, Jawa Pos, 28 April 2008.

[31]Diakses dari gusdur.net, 31 Januari 2008.

[32]Imam Ghazali Said adalah pengasuh Pesantren Mahasiswa “An-Nur” dan ketua FKUB Surabaya.

[33]Ensklopedia Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, diketuai Harun Nasution mengemukakan bahwa sebenarnya kedua golongan Ahamadiyah itu tetap percaya penuh kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kiamat, dan Takdir-Nya, serta berpegang kepada rukun Islam yang lima: mengakui dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji. Pendeknya, kitab al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mereka pegang tidak berbeda dengan yang dipegang umat Islam. Mereka yakin bahwa Nabi Muhammad adalah Khātam al- Anbiyā’, namun mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syariat. Nabi-nabi yang tidak membawa  syariat masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad. Mereka juga percaya pada hadits Nabi yang berbunyi lā nabiyya ba’dī (tidak ada nabi sesudahku), tetapi mereka sempitkan artinya menjadi “tidak ada nabi yang menyalahi atau menentangku”. Dengan demikian, tidak dinaifkan adnya nabi-nabi yang akan mendukung ajaran Nabi Muhammad seperti banyak nabi-nabi sesudah Nabi Musa yang bertugas menegakkan syari’at Nabi Musa.

[34] Realita yang ada menjelaskan kezaliman yang ditimpa JAI dan pengesampingan hak-hak sipil mereka. Hal tersebut dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, di samping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

[35]Sebagaimana yang dilansir di Jawa Pos, 28 April 2009.

[36]Lihat, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dinilai Terbaik, www. depag.go.id, 28 Mei 2009.

A Vision of Effective Islamic Education dalam Prespektif Pemikiran Pendidikan: Filosofis-Psikologis

Vision

Di dalam mukadimah artikel berjudul A Vision of Effective Islamic Education, Dawud Tauhidi mengajukan kegelisahan akademiknya berupa pertanyaan, “Apa yang keliru dengan pendidikan Islam?” Sebuah pertanyaan yang berlatar belakang ketidak selarasan  kehidupan umat Islam sekarang dengan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai keyakinan.

Lebih lanjut ia memandang, akhir-akhir ini Islam diajarkan sebatas sebagai informasi dan bukan pengalaman-pengalaman. Bagi kebanyakan peserta didik, Islam tidak memberi inspirasi serta nampak kurang berarti dan tidak relevan dengan kehidupan pribadi dan pengalaman-pengalaman mereka.

Pendidikan Islam pada kondisi teks kekinian memerlukan pemikiran- pemikiran baru. Sebuah visi pendidikan Islam yang efektif ditawarkan oleh Dawud Tauhidi, rasa-rasanya perlu untuk ditelaah lalu dianalisis sejauh mana efektivitas visi pendidikan Islam berdampak  pada anak didik.

Tantangan bagi Pendidikan Islam

Adanya pengaruh kuat paham matrealis sekular dan sistem nilainya menjadi tantangan tersendiri bagi baik individu maupun komunitas keagamaan. Tauhidi memandang hal demikian tergantung pada bagaimana kita mendidik  dan bergantung pada keberhasilan kita dalam mentransformasikan visi suci ataupun  pandangan hidup umat Islam. Ia menekankan pentingnya keberlangsungan spiritual serta moral anak didik dan masyarakat Muslim.

Tidak bisa dipungkiri, paham materialis sekular berdampak kuat pada kehidupan umat Islam. Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa Islam tidak menampik dunia materi bahkan memberi porsi tersendiri, menjadikan materi sebagai alat interaksi sosial, mengejewantahkan ajaran Islam lewat cara berbagi materi dan menjadikan pencapaian materi yang manusiawi sebagai bentuk lain peribadatan.

Materi merupakan aspek untuk bertahan hidup paling nyata saat ini, terlepas dari paham materialis sekular, kecenderungan seseorang meski ia seorang Muslim untuk mendapatkan banyak materi selalu ada. Hal demikian sesuai dengan  aspek biologis yang merupakan aspek orisinil. Sebuah aspek yang menurut Sigmund Freud berfungsi dengan berpegang pada prinsip “kenikmatan”, yaitu mencari keenakan dan menghindarkan diri dari ketidak-enakan. Saat inipun, sebagaimana orientasi pendidikan ala Ibn Khaldun, materi ditempatkan sebagai tujuan pertama pendidikan dengan bahasa peningkatan kualitas hidup menggantikan tujuan semula pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang bertaqwa, berkepribadian Muslim, menjadi insan kamil, ulul albab atau yang lainnya, sebab pada akhirnya tujuan-tujuan mulia itupun akan berhenti pada satu titik penting; materi sebagai tujuan sekaligus nyawa pendidikan.

Tauhidi menyadari pengaruh kuat paham materialis sekular yang berdampak pada pemarjinalan nilai-nilai ajaran Islam. Kegelisahan yang sama, banyak dialami pemerhati maupun praktisi pendidikan Islam. Banyak upaya yang telah dilakukan, seperti Islamisasi (al-Attas), naturalisasi (al-Ghazali), internalisasi (SH. Nasser), Easternisasi (dalam pandangan Bassam Tibi) sampai De-Westernisasi (menurut Adnin Armas) selalu menggusung dikotomi-independensi Barat-Timur: Sains-Agama yang pasti berakhir pada konflik berkepanjangan yang tidak berkesudahan. Belum ada upaya memberi ruang pengakomodiran sebagaimana anjuran Emmanuel Kant untuk menuju integralistik-holistik Barat-Timur. Mengacu pada pengalaman dari para pendahulunya, Tauhidi menyajikan pengulangan gagasan pendidikan Islam yang efektif, mengena di kehidupan nyata, tidak di awang-awang tapi landing sesuai dengan kebutuhan dan sejalan dengan minat peserta didik melalui pemahaman Islam yang tepat serta aplikatif (being Muslim).

Dengan tanpa pemahaman yang tepat akan sistem nilai Islam, ia meyakini bahwa tujuan (maqasid) pendidikan Islam akan sulit dicapai. Pada dasarnya, pendidikan Islam memiliki peranan penting dalam memberikan solusi konkrit serta program-program yang akan membantu  pemahamam bagi peserta didik, juga dalam meningkatkan peranan dan tanggung jawab keluarga terhadap proses pendidikan.

Merespon wacana pembaharuan ini, Banyak yang berusaha keras untuk menemukan solusi riil dalam menghadapi permasalahan dan tantangannya, termasuk mengkaji ulang konsep how dan what yang telah diterapkan dalam pengajaran tentang Islam. Premis mendasar adalah bagaimana pendidik Muslim membangun kembali kurikulum kajian Islam-apa yang musti diajarkan dan bagaimana ia diajarkan- bila direlevansikan dengan daya tahan (the spiritual survival skill) sebagai Muslim yang hidup di abad 21.

Tauhidi menggaris bawahi visi baru pendidikan Islam yang mampu mencetak generasi Muslim yang mempunyai tingkatan pemahaman, komitmen dan tanggung jawab sosial, yang mampu menyajikan Islam dan kemanusiaan secara efektif. Menurut dia, Pendidikan Islam harus bisa mencetak lulusan yang mampu mengenali, memahami lalu kemudian bisa bekerja sama menyelesaikan  permasalahan-permasalahan terkait erat dengan kehidupan yang telah diamanahkan. Permasalahannya adalah visi pengajaran yakni Islam sebagai materi ajar yang dengan sendirinya diharapkan berpengaruh dan mempunyai dampak positif terhadap perilaku-perilaku, tapi pada kenyataannya masih dibutuhkan proses penjadian perilaku-perilaku itu sendiri. Solusinya adalah bahwa tarbiyah wa ta’lim perlu diikuti dengan ta’dib.

Visi

Pada kenyataannya, visi ini bukanlah hal yang baru, lebih tepat jika dikatakan sebagai pembaharuan pandangan atau visi pendidikan Islam. Seperti kembali ke visi pendidikan klasik meski tidak tradisional ataupun konvensional jika merujuk ulang ke model pendidikan zaman Nabi, yakni mencakup praktek dan relevansi. Sebuah model pendidikan yang menekankan substansi pendidikan dan relevansinya berupa pengalaman-pengalaman keseharian dan permasalahan di awal Islam. Meskipun kandungan pendidikan Islam tidak diperdebatkan lagi disiplin ilmu mendasarnya seperti aqidah, tafsir, fiqh dan yang lainnya, tetapi proses pelaksanaannya musti dilakukan secara alami dan sejalan dengan minat peserta didik yang berkait erat dengan isu-isu yang muncul di konteks terkini pendidikan.

Perbedaan mendasar visi pendidikan Islam ditawarkan Dawud Tauhidi adalah pengajaran tentang Islam dan pengajaran bagaimana menjadi seorang Muslim. Tauhidi menegaskan bahwasanya pendidik Muslim dalam banyak hal lebih mengajarkan fakta-fakta tentang Islam dan belum menemukan pengembangan sebuah program yang sistimatis untuk mengajar tentang menjadi seorang Muslim secara alami.

Pendidik Muslim harus menjadi lebih sadar akan peranan penting faktor-faktor yang berperan dalam pembelajaran yang efektif, yaitu bermakna (meaningful), integral (integrative), bernilai dasar (value-based), menantang (challenging) serta aktif (active).

Pendidik Muslim harus menyadari bahwa tiap aspek dari pengalaman belajar mengajar benar-benar membawa nilai-nilai pada siswa dan memberi kesempatan bagi mereka untuk belajar tentang nilai. Oleh karena itu, pendidik harus meningkatkan kesadaran akan nilai/martabatnya serta bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi perilaku sebagai model peranan dan apa yang siswa pelajari dari pengalaman mereka sendiri, orang lain dan terkait dengan Islam.

Pengajar di pendidikan Islam bisa dibilang efektif kalau mempersiapkan diri dengan peningkatan pengetahuan dasarnya secara berkelanjutan, membetulkan tujuan dan kandungan pada kebutuhan siswa, mengambil manfaat dari kejadian yang terbentang dari momentum pengajaran serta mengembangkan percontohan yang secara langsung berhubungan dengan anak didik. Lebih lanjut, pembelajaran harus menjadi lebih aktif dengan menekankan aktifitas gerak tangan dan pikiran hand-on dan mind-on yang mengajak peserta didik bereaksi pada apa yang mereka pelajari serta menggunakannya di dalam kehidupan mereka yang berarti.

Faktor-faktor kunci yang diketengahkan Tauhidi diatas merupakan gambaran visi yang jelas yang berdasarkan dinamika pandangan Islam dan pendidikan Islam. Sebuah pandangan yang berakar pada misi Islam yang membawa dampak positif sedangkan tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi muda yang mampu membawa misi suci tersebut secara emosional, moral dan intelektual.

At-thariqatu ahammu min al-madda wa al-ustadzu ahammu min al-thariqah, bahwa cara atau metode itu mempunyai peranan yang lebih penting dari pada materi ajar tetapi pengajar jauh lebih penting dari cara itu sendiri.

Beranjak dari falsafah pendidikan yang merupakan aktivitas fikiran yang teratur sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan  proses pendidikan, nampaknya Tauhidi memahami betul capaian akhir pendidikan Islam, yakni tidak sekedar teori tapi praktek pelaksanaan; penguasaan ilmu keagamaan sekaligus menjadi seorang yang agamis dengan keilmuannya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mohd. Labib al-Najihi di dalam bukunya Pengantar pada Falsafah Pendidikan bahwa falsafah pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan ma’lumat-ma’lumat yang diusahakan untuk mencapainya. Dengan ini maka falsafah pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan anasir yang bersatu dan berpadu.

Bagaimanapun juga, Pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya dan tidak bisa dibatasi oleh beberapa faktor penting penunjang efektivitas pendidikan. Aksiologis dari psikologi pendidikan berupa manfaat terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan, seyogyanya menjadi model pendekatan psikis dalam mengoptimalkan potensi manusia agar bisa beranjak ke jenjang kesempurnaan.

Satu hal yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila peserta didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila ia berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.

Referensi

Al-Najihi, Mohd. Labib. (1967), Pengantar pada Falsafah Pendidikan, Kaherah, Maktabah al-Englo al-Masriyah

Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Toumy. (1979), terj. Hasan langulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Suryabrata, Sumadi. (1990), Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali

Tauhidi, Dawud. (2008), A Vision of Effective Islamic Education, Islamic World

Current Teaching-Learning Approaches

teach

The emergence of various teaching approaches aiming at how students should learn emerges due to the change of teaching focus from teacher-centered instruction to student-centered one, were claimed to be applicable to various subject-matters such as Constructivist Approach, Contextual Approach, Quantum Teaching and Learning, Cooperative Learning, and various instructional approaches and models.

Constructivist Approach

The idea that learning is not a process of accumulating facts or developing skills, but a process where a child actively constructs understanding based on his/her experiences (Piaget) inspires constructivist to adopt it as an approach which is much used in the teaching of science.

The difference between Constructivist Approach and Objectivist (traditional) Approach is that Objectivist Approach emphasizes knowledge as an object, while Constructivist Approach thinking process to give meanings. Some characteristics of Constructivist Approach (CA) as compared with Objective Approach (OA) (Brooks and Brooks, 1999: 17) are: 1) in OA curriculum is presented part to whole, with emphasis on basic skills. In CA curriculum is presented whole to part with emphasis on big concepts, 2) in OA strict adherence to fixed curriculum is highly valued; while in CA pursuit of questions is highly valued, 3) curriculum activities in OA rely heavily on textbooks and workbooks but CA curriculum activities rely heavily on primary sources of data and manipulative materials, 4) students  in OA are viewed as “blank slates” onto which information is etched by teacher while in CA students are viewed as thinkers with emerging theories about the world, 5) in OA teachers generally behave in a didactic manner, disseminating information to students and In CA teachers generally behave in an interactive manner, mediating the environment for students, 6) while teachers in OA seek the correct answer to validate student learning, in CA seek the students’ points of view in order to understand students’ present conception for use in subsequent lessons,7) in OA assessment of student learning is viewed as separate from teaching and almost entirely through testing but in CA assessment of student learning is interwoven with teaching and occurs through teacher observations of students at and through student exhibitions and portfolios, 8) students primarily work alone in OA, but they work in groups in CA.

A model of teaching and learning process using Constructivist principles is 6E’s cycle (Johnston, 2001), namely: End, which means the target or objective of the learning. Engagement, i.e. involving students in the teaching-learning activities. Here the teacher may ask questions, present a problem, show contradicting events, or challenge commons beliefs. Exploration; which means researching an object, situation, or event; making relationship; finding patterns; identifying variables; or questioning an event. Explanation, namely the teacher asks students to explain the object, situation, or event which has just been observed of experienced. Then, the teacher gives scientific explanation.

Elaboration, which means to generalize from the concept, process, or skill being learned. This is continued with an experiment to apply, widen, or deepen those concept, process, or skill. Evaluation, i.e. the teacher conducts informal assessment by observing the teaching learning process from the beginning of the activities, and formal assessment of students’ achievement after elaboration step. This model is called a cycle because after the 6th step the process may be continued from the 1st step again.

Contextual Approach

Contextual Approach or Contextual Teaching and Learning (CTL) claims to be based on Constructivist Approach. This approach emphasizes teacher’s effort to relate teaching to students’ environments, and to relate students’ knowledge to its application in real life. Some characteristics to be developed in Contextual Approach (Suyanto and Latief, 2002) are emphasizing the importance of problem solving, acknowledging the need to conduct learning activities in various contexts, such as home, society, and work place. Guiding learning toward independent study, emphasizing learning on various contexts of students’ lives, encouraging students to learn from peers and group work, and using authentic/process assessment.

The elements of Contextual Approach are: 1) constructivism, which emphasizes the activation of learner’s background knowledge and reflection on student learning, 2) questioning, as a strategy to encourage, guide, and assess student learning, 3) inquiry, as an activity which consists of observing, questioning, hypothesizing, data gathering and drawing conclusion, 4) learning community, which suggests that learning outcomes be obtained through cooperation and learning with each other, 5) modeling, which is provided by the teacher or in cooperation with students, 6) reflection, which is done to review/reinforce what has been learned, 7) authentic assessment, as a process evaluation which is emphasized in this approach.  This approach can be used in learning procedure.

Quantum Teaching and Learning

Quantum Teaching and Learning (Degeng, 2001; DePorter, et al. 1999) is defined as interactions that transform energy into radiance, and Quantum the orchestration of the variety of the interactions that exist in and around the moment of learning. Quantum Teaching and Learning (QTL) also claims to be based on Approach. QTL has similarities with Suggestopedia. Suggestopedia focuses on language teaching, while QTL focuses on teaching and learning in general. QTL emphasizes efforts to create enjoyable learning activities to reach students’ welfare. QTL suggests that teacher enter students’ world and bring teacher’s world. The deeper the teacher enters the students’ world, the more influence can he/she give to students.

In the teaching and learning process, QTL attempts to create enjoyable learning atmosphere by growing student motivation to learn, developing sympathy and mutual understanding, creating cheerfulness and astonishment during the learning encouraging students to take a risk (trial) in learning, developing sense of belonging showing good models.

To build a strong foundation for learning through: 1) determining shared goals between teacher and students, 2) constructing shared principles and values, 3) growing self-confidence in teacher as well as students, 4)  making shared agreement, policy, procedure, and regulation for teaching and learning process, 5) establishing partnership in learning.

To arrange enjoyable learning environment by: 1) rearranging classroom/school environment (physical and non-physical) using attractive media (e.g. demonstration, OHP, Power-point), 2) arranging tables and chairs, so that students are comfortable in learning, 3) arranging plants (e.g. flowers), animals (e.g. fish in an aquarium), and classroom (so that it feels fresh), 4) using music as a background of teaching and learning process.

To orchestrate a dynamic teaching and learning process by: 1) uniting our world and student’s world, 2) adjusting learning to learner characteristics, 3) combining success, failure, and risk, 4) using the steps of enrolling/motivating, experiencing, labeling/naming, demonstrating, reviewing, and celebrating, 5) using metaphor, analogy, or suggestion.

The teaching- learning using model using QTL is as abbreviated as EEL Dr. C, namely: Enroll, ie. create a situation close to students’ real life, so that they can feel curious. Experience, i.e. create learning experience to which all students can be involved. Label, i.e. give name or key words to the topic being taught. Demonstrate, i.e. give chance for the students to show their knowledge or ability. Review, i.e. lead the students to review the lesson so that they know that they know. Celebrate, i.e. acknowledge the task completion, student participation, and acquisition of the new skill and knowledge.

Cooperative Learning

Cooperative Learning method (Slavin, 1995) hold the idea that students should

work together to learn and are responsible for their teammates’ learning as well as their own. Cooperative learning claims that group work is better than individual competition. In practice, cooperative learning in class is conducted in small groups.

Cooperative learning has five basic elements (Johnson, Johnson, and Holubec, Holt, 1993 :5). First, there should be positive interdependence among the group members. The students should perceive the principle of “sink or swim together”. If one fails, all fail. Therefore, all group members work for the benefit of him-/herself and also for the group. Second, there should be individual and group accountability. The group should be accountable for reaching its goal, and each member should contribute his/her share for the task (no-one is allowed to “hitch-hike” on others). Third, there is a face-to face interaction to promote to promote the shared success. They should help, support, encourage, and praise each other’s learning efforts. Fourth, there are interpersonal and small group skills. Besides learning academic tasks, the group members also learn appropriate communication, leadership, trust, decision making, and conflict management skills. Fifth, there is group processing. The group is given time and procedure to assess what worked and what did not, what should be maintained and what should be changed so that there is a continuous improvement.

Examples of cooperative learning models are Student Teams-Achievement

Divions (STAD)[1], Teams-Games-Tournaments (TGT), Group Investigation[2], Group Discussion, Group Project, Jigsaw[3], Jigsaw II[4], Numbered Heads Together, or Think-Pair[5]. The following are some examples, taken from Slavin (1995), and Frazee and Rudnitski (1995).

PAKEM

PAKEM stands for Pembelajaran yang Aktif Kreatif Efektif, dan Menyenangkan (active, creative, effective, and joyful learning), for both teacher and students. This is one of the learning models developed for Indonesian context. The characteristics of Teacher-active are: 1) to monitor students learning activities, 2) to give feedback , 3) to ask challenging questions, 4) to question students’ ideas.  Student-active: 1) asking questions, 2) expressing ideas, 3) questioning others’ ideas.  Teacher-creative: 1) developing variety of activities, 2) making simple learning media. Student-creative: 1) designing/making something , 2) writing/composing. Teacher-effective is achieving teaching/learning objectives. Student-effective is mastering required competence. Joyful is teacher should not make students afraid of making mistakes or being laughed at. Students are encouraged to try/make something, ask questions, express ideas or question others’ ideas

PAKEM should be supported by teacher’s attitudes which are open-minded

listening to students’ opinions, respecting students’ opinions, giving feedback, encouraging, growing self-confidence, letting students try before assisting, not mocking, making habits for students to listen to others, and tolerating errors and encouraging correction.

PAKEM creates classroom environment conducive for learning such as containing various learning sources, books, real objects, media, and students’ works, making learning materials and equipment available, making tables and chairs comfortable, and having reading corner. Recently, the acronym P AKEM has become P AIKEM, with the addition of I for

Innovative.

TEFL in 2004 Curriculum in Indonesia

The problems of TEFL in Indonesia are: (a) SMA graduates hardly speak and write in Englih, (b) good mastery of English is helped by attending private courses, (c) teachers rely to much on textbook, and (d) teachers focus too much on linguistic features.

The teaching of English in secondary schools in Indonesia in 2004 Curriculum uses the principles/characteristics that it adopts CLT with Discourse Approach (Celce-Murcia, Dornyei, and Thurrell, 1995). This approach puts discourse competence as the ultimate goal, which is supported by socio-cultural competence, linguistic competence, actional competence, and supported by strategic competence. Consequently, the target of English competence of secondary school students in Indonesia is an ability to produce various interpersonal, transactional, and functional text types (genres), such  narration, description, procedure, report, recount, news item, exposition, explanation, discussion, review, anecdote, and spoof.

Besides English is considered as a means for self development, obtaining knowledge, and global communication, the teaching procedure takes three-phase technique, namely, pre-activities, main activities, and post activities and all the materials in the standard of contents (SK-KD) should be taught. They include interpersonal, transactional, and functional text types. The teaching materials should also be from various subject-matters, and cover local, national, regional, and international areas.

Another principles are that the teaching focus should be on the skills of: Listening, Speaking, Reading, and Writing. The teaching approach should be contextualized to real-life of students; students are required to find other examples from their surrounding, in addition to the examples provided by the teacher/textbook.

There should be a guide for constructing texts, i.e. in determining the social function, text/meaning structure, and linguistic features of the texts. The teaching-learning target is students’ ability to produce oral and written texts and there should be interactive activities between teacher and student, among students.

While teaching-learning activities include face-to-face, structured exercises, and independent activities, activities should develop life skills: personal, social, academic, and vocational skills. Activities should aim at: (a) developing positive attitudes to diversity (kebhinekaan), and (b) respecting and appreciating local, national, regional, and international cultural values and they should focus on students and develop their initiative, creativity, critical thinking, and independent learning.

The Department of National Education has launched 4 standards for TEFL in Indonesia, namely: Standard of Contents, Standard of Outcomes, Standard of Learning Process, and Standard of Assessment. These are the minimum standards to be achieved.

REFERENCES

Fachurrazy. 2010. Teaching English as Foreign Language for Teachers in Indonesia. The State University of Malang.

Newton, A. Covell. 1984. Current Trends in Language Teaching. A TEFL Anthology.

Selected Articles from The English Teaching Forum. English Language

Program Division Educational and Culture Affairs. US Information Agency. Washington D.C. 20547.

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Students are assigned to four-member learning teams that are mixed in performance level, gender, and ethnicity. The teacher presents a lesson, and then students work within teams to make sure all team members have mastered the lesson. Then, all students individual quizzes on the material, at which time they may not help one another. Students’ quiz scores are compared to their own past averages, and points are awarded to team based on the degree to which students meet or exceed their own earlier performances. These points are then added to form team scores, and teams that meet certain criteria may earn certificates or other rewards.

[2] Groups are formed according to common interest in a topic. Students plan research (formulating research question, collecting data, writing report), divide learning assignments among members, synthesize/summarize findings, and present the findings to the entire class.

[3] Students are assigned to six-member teams to work on academic material that has been divided into sections. Each member reads a section; then members of different teams meet to become experts. Students return to groups and teach other members about their ions. Students must listen to their team-mates to learn other sections.

[4] Students work in four-/five-member teams as in STAD. Rather than being assigned specific parts, students read a common narrative (e.g. a chapter). Students also receive a topic on which to become an expert. Learners with the same topics meet together as in Jigsaw, and then they teach the material to their original group. Students take individual quizzes.

[5] Students are given a task (e.g. how to solve a traffic jam) and work individually. Then, students form pairs, and discuss their ideas. After that, each pair shares the results of their discussion with the whole class. In practice, a teacher may modify a model, combine two or more models, or even e his/her own cooperative learning model.