
Ajaran Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh, juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan keagamaan.[1] Eksistensi politik dalam Islam dapat diketahui melalui pemahaman yang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri,[2] bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik dapat dirujuk ulang pada persoalan pertama yang timbul dalam Islam, menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[3]
Lepas dari adanya penolakan terhadap keterkaitan Islam dengan politik dan hubungannya dengan urusan keagamaan,[4] artikle ini berusaha menyajikan politik Islam khususnya di Indonesia sebagai realitas yang ada dan hadir dalam kehidupan. Indonesia dengan mayoritas umat Islamnya, pastinya terimbas oleh berbagai permasalahan yang berkait erat dengan politik, seperti perseteruan antara negara dan agama, perseteruan Islam politik dengan Islam kultural, polarisasi politik, fragmentasi politik, repolitisasi dan politisasi agama, integrasi politik yang berkedok sebagai integrasi umat, terbebasnya publik politik dari belenggu kultural dan struktural (democracy abuse), dan polarisasi sosial yang merupakan dampak dari adanya kesenjangan sosial yang berujung pada pergeseran konflik ideologi ke konflik ekonomi.
Di akhir kesimpulan, perubahan artikulasi politik Islam dalam dua sejarah, baik Orde Baru maupun era Reformasi (pasca-Soeharto) ternyata malah memberi gambaran wajah politik Islam Indonesia. Sebuah wajah yang dipenuhi ekspresi sahwat berpolitik, menyuarakan isu-isu keislaman yang berakhir dengan kekalahan tidak berarti dan tidak memberi arti yang siknifikan untuk sebuah perubahan.
Dan agenda lain dianggap perlu untuk diwujudkan adalah memadukan ideologi politik di Indonesia yang nyaris tidak diketemukan perbedaannya.
Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan[5]
Islam pada masa Orde Baru ditandai dengan perubahan besar, baik secara institusional[6] maupun dalam bentuk perubahan pemikiran[7] berbagai ajaran agama ini, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Perubahan itu tampak jelas pada perkembangan Islam dewasa ini dibanding dengan masa awal Orde Baru, dan lebih-lebih lagi kalau ditelusuri jauh kebelakang sampai awal abad ini.
Perubahan besar tersebut, pada perkembangannya menyisakan permasalahan yang tidak bisa lepas dari faktor penyebab perubahan, yaitu munculnya perdebatan dikalangan para pengamat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan. Sebagian pengamat berpendapat bahwa perubahan yang dialami Islam dalam bidang politik dan pemikiran keagamaan pada masa Orde Baru ini merupakan konsekuensi logis dari proses modernisasi dan desakan politik pemerintah selama lebih dua dasawarsa.
Proses modernisasi membawa perubahan institusional dan wawasan umat. Salah satu inti modernisasi adalah rasionalisasi, sehingga umat dapat lebih terdorong untuk bersikap lebih rasional dan realistis. Sedangkan desakan politik pemerintah menyebabkan umat harus ikhlas menerima fusi partai dan penetapan asas tunggal Pancasila. Karena kedua hal ini merupakan bagian dari kebijaksanaan besar pembangunan politik Orde baru yang tidak dapat ditawar lagi.
Namun, tidak sedikit pula pengamat Islam yang menilai perubahan Islam bukan karena faktor modernisasi dan desakan politik Orde Baru,[8] tetapi lebih merupakan kelanjutan dialog internal yang telah berjalan dikalangan umat Islam.
Dialog internal umat dapat dilihat pada pembentukan ormas-ormas Islam untuk memberi pelayanan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Ormas ini lahir dari dialog tentang perlunya umat meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan mereka melalui institusi sosial yang relevan.[9]
Di dalam penelitiannya, Din Syamsuddin menyatakan bahwa Islam Indonesia dihadapkan pada kenyataan tentang kuatnya semangat pribumi (indigenous) di kalangan umat Islam sendiri yang tidak menghendaki “Islam Politik”. Mereka ini dominan di pentas politik nasional. Maka kemudian Islam tidak banyak dihadirkan di arena politik praktis untuk merebut kekuasaan, melainkan dalam dakwah, yang secara substansial juga mengandung muatan politik: amar ma’ruf nahy munkar. Perubahan dari Islam politik ke dakwah ini merupakan hasil intropeksi budaya, yang merupakan akibat dari hubungan tidak seimbang antara Islam dan negara: Islam berada pada posisi inferior sedangkan negara berada pada posisi superior.[10]
Dalam perkembangannya kemudian setelah banyak orang Islam yang berpendidikan, agama, dan umum, umat lalu mengalami suatu masalah baru tentang kesenjangan antara yang berpengetahuan agama dengan berpendidikan umum. Masalah ini membawa polarisasi dalam kehidupan poltik, yakni antara mereka yang berafiliasi kepada partai Islam dengan orang-orang Islam yang tergabung dalam partai-partai politik yang tidak membawa bendera Islam.
Selanjutnya, polarisasi politik menimbulkan dialog dan perdebatan dikalangan umat tentang perlu tidaknya membentuk negara Islam. Sebagaian pihak di kalangan Islam menghendaki dibentuknya negara Islam, seperti terlihat pada perjuangan DI/TI. Namun, tidak sedikit pula-terutama-yang telah berpendidikan tinggi, tidak menghendaki adanya Negara Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).[11]
Polarisasi politik ini berpengaruh pada munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada awal 1970-an. Salah satu inti gerakan ini adalah perlunya perwujudan integrasi umat dengan melihat kembali (memperbaharui) paham agama yang dianut umat Islam selama ini.
Integrasi umat ini diwujudkan dengan menghilangkan perpecahan politik dan membangun kehidupan sosial baru yang yang maju di segala bidang. Karena kehidupan sosial yang sejahtera dan diridhoi Tuhan (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur) merupakan substansi politik Islam. Sedang partai politik, parlemen, dan negara bukan tujuan politik Islam, tetapi hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.[12]
Dan nampaknya, setelah penerapan serangkaian kebijaksanaan politik Orde Baru, yakni fusi partai politik Islam yang melahirkan PPP tahun 1973 dan penetapan asas Pancasila[13] bagi PPP tahun 1984, integrasi umat seakan-akan sudah tercapai. Wujud adanya intergrasi itu tidak berarti bahwa persoalan umat sudah selesai. Karena yang terwujud hanyalah integrasi politik. Sedangkan integrasi sosial masih menghadapi tantangan yang berat dengan terjadinya kesenjangan sosial[14] yang tajam.
Terjadinya kesenjangan sosial menimbulkan polarisasi sosial. Polarisasi sosial tidak mustahil akan menimbulkan pertentangan di kalangan umat. Konflik umat nampaknya hanya akan bergeser dari konflik yang bersifat ideologis menuju konflik ekonomi.[15]
Islam Politik Pasca-Soeharto
Dinamika kehidupan politik Indonesia[16] yang merangkak dalam pergerakan reformasi, menjelaskan wajah Islam politik serta manuver-manuver politik partai-partai Islam pasca-Soeharto. Islam politik secara umum dipahami sebagai Islam yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik,[17] atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi.
Ketika Islam politik mengalami penekanan yang luar biasa dari rezim otoriter Orde Baru, sebagian cendekiawan Muslim berusaha mengubah arah strategi perjuangan umat Islam yang tidak hanya melalui saluran politik. Salah satunya adalah Nurcholis Madjid yang mengintrodusir strategi perjuangan umat Islam melalui saluran kultural.
Dengan ungkapannya yang terkenal, yakni: Islam Yes, Partai Islam No, yang kemudian dikenal dengan Islam kultural.
Gagasan pendekatan kultural dari pada pendekatan politik Islam dalam Islamisasi Indonesia membuka ruang bagi mungkinnya pribumisasi Islam, yakni mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat Muslim punya kesadaran kebangsaan, dan negara Indonesia harus dibangun atas kesadaran ini.[18]
Strategi kultural ini cukup berhasil dengan banyaknya kaum terdidik dari kalangan Islam yang memberikan polesan wajah Islam yang ramah, santun, dan menyejukan dan Islam kultural ini relatif bisa diterima oleh rezim penguasa. Namun, ketika era reformasi, Islam politik yang dulu ditekan oleh rezim otoriter Orde Baru telah menemukan ruang politiknya kembali. Islam politik mengalami euforia kebebasan yang luar biasa. Islam politik menyeruak ke permukaan dan sempat menimbulkan kekhawatiran akan menyebabkan tenggelam kembali Islam kultural.
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah euforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 32 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.[19]
Jika merujuk ulang tesis yang telah lama dikemukakan Francis Fukuyama bahwa pada akhirnya dunia hanya menyisahkan satu impeccable ideology , yaitu liberal democracy,[20] dapat dikatakan bahwa geliat Islam politik di Indonesia adalah hasil dari demokrasi yang serba permisif setelah sekian lama terjadi otoritasi dan penyelewengan serta penyalahgunaan sistem demokrasi (democracy abuse).
Dengan terbukanya pintu liberalisasi tersebut, publik politik Indonesia merasa terbebaskan dari belenggu kultural dan struktural yang selama ini menyulitkan dan membatasi mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik nasional serta dalam melakukan kontrol sosial politik terhadap proses penyelenggaraan negara. Sebagai akibatnya, muncul berbagai partai sebagai kendaraan politik Islam, baik yang berasas Islam maupun yang tidak. Inilah barangkali yang akan mewarnai wacana politik Islam pasca Orde Baru. Dalam konteks ini, sesungguhnya masyarakat tidak perlu khawatir, bahwa hadirnya partai yang menggunakan idiom dan simbol Islam, bukan merupakan sejarah ulangan periode 50-an. Penggunaan idiom dan simbol Islam itu tampaknya hanya diarahkan untuk mencari dukungan publik yang secara mayoritas beragama Islam.[21]
Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana peta Islam politik pasca-Soeharto atau era reformasi. Dalam konteks ini, wujud Islam politik berupa partai-partai politik yang berbasiskan Islam dengan tidak lagi memiliki imajinasi politik berdirinya negara Islam. Generasi baru umat Islam yang mendirikan partai politik dalam era reformasi adalah generasi yang berbeda visi dan orientasinya, dimana mereka lebih pragmatis dan realistis memasuki sistem politik yang tersedia guna meraih peluang dan kesempatan yang sebesar-besarnya dengan tetap berpijak kepada prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai etik.
Walaupun ada proses formalisasi Islam dalam partai politik berbasiskan Islam, misalnya berasaskan Islam dan memakai simbol-simbol Islam (Bulan Bintang, Ka’bah dan kalimat atau tulisan Arab), hal ini sebagai identifikasi partai saja, bahwa ini menunjukkan partai politik Islam.[22]
Lebih dari itu, arus formalistik menekankan penggunaan bentuk-bentuk Islam yang diikuti secara ketat dan simbol-simbol budaya Arab yang dipercaya sebagai Islam yang murni. Penekanaan penggunaan terma-terma budaya Arab di negara non-Arab seperti Indonesia, menunjukkan pentingnya bagi mereka formalisasi keagamaan. Makna-makna substansif yang bisa diungkapkan dengan bahasa lain dipandang kurang penting dibanding kalau diungkapkan dalam bahasa Arab. Tekanannya di sini terletak pada pengaruh nyata dari kata-kata dari pada makna epistemologis dari pemahaman.[23]
Pada akhirnya, wujud Islam politik dengan berbagai partai politik yang berbasiskan Islam hanya memecah bela kesatuan Muslim Indonesia. Fragmentasi politik pun tidak bisa dipungkiri menajadi ciri tersendiri Islam politik era reformasi. Fragmentasi politik,[24] hal ini ditandai dengan keinginan dari semua elit politik Islam yang ingin menjadi pemimpin daripada mendahulukan untuk perjuangan kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Berdirinya 40 partai politik Islam yang kemudian menyusut karena proses seleksi adalah bentuk dari terfragmentasi umat Islam karena ulah para pemimpinnya yang hanya mementingkan kepentingan sendiri dan kelompoknya.[25]
Menurut Kuntowijoyo, fragmentasi politik yang ditandai dengan banyaknya partai politik yang didirikan elit politik Islam, merupakan sesuatu yang kontraproduktif bagi terbentuknya ukkhuwah islamiyah dan membangun kesejahteraan bagi umat Islam.
Banyaknya pemimpin atau elite politik Islam yang mendirikan partai politik, menurut Nurcholis Madjid, cerminan dari egoisme politik yang merasuki kalangan elit politik Islam (Abidin Amir, 2003: 284), sedangkan Azyumardi Azra melihat elite politik Islam yang mendirikan partai politik yang berbeda-beda adalah cerminan dari motivasi yang hanya untuk mengejar kekuasaan belaka, bukan demi kepentingan umat Islam.[26]
Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena kemunculan partai-partai Islam, dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai “repolitisasi Islam”. Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah “politisasi” terhadap apa saja termasuk agama, selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejoratif atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiah (devine) seperti agama Islam.[27]
Diluar partai-partai Islam yang telah mengalami fragmentasi, partai lain yang menggusung Gerakan Islam Transnasional, terwakili oleh-dengan diberikannya keleluasaan berserikat kepada-Hizbut Tahrir Indonesia menunjukkan hal lain dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca-Soeharto.
Gerakan Islam Transnasional di mata Hasyim Muzadi, sepenuhnya adalah Arab yang latar budaya, pemikiran dan sosialnya tidak sama dengan Indonesia. Dengan kata lain, bahwa ideologi transnasional tidak berasal dari kepribadian bangsa Indonesia. Gerakan Islam Transnasional bukanlah murni gerakan keagamaan namun merupakan gerakan politik. Untuk menjalankan aktivitasnya, tugas agama dan politik disatukan. Menurut Hasyim, keduanya mempunyai tujuan berbeda. Agama dengan dakwahnya, bertujuan mulia, yaitu menyebarluaskankan ajaran Islam sedangkan politik bertujuan jangka pendek, yakni kekuasaan. Bahasa sederhananya adalah politisasi agama.[28]
Di Indonesia, jalan pintas bagi tegaknya keadilan dengan melaksanakan syari’at Islam melalui kekuasaan, ditempuh lebih dikarenakan miskinnya pengetahuan kelompok-kelompok Islam Transnasional tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana disamping disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah).
Anehnya-di mata Syafii Maarif-semua kelompok yang terkategorikan sebagai Islam Transnasional ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal: bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca di sini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi diharamkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.
Menyertai keprihatinan kelompok-kelompok fundamentalis tentang kondisi Indonesia yang jauh dari keadilan, tetapi cara-cara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negeri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu di tengah jalan, Syafii Maarif menyimpulkan bahwa masalah Indonesia, bangsa Muslim terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan.[29]
Hal lain yang menarik untuk dicermati-meski terlalu naïf untuk dilakukan-dalam diskursus politik Islam era reformasi, disamping meningkatnya eskalasi tindak kekerasan atas nama agama,[30] adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi.
Perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam-selanjutnya ditulis ‘perda syariat’-yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca-Soeharto yang paling sering mendapat sorotan.
Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada, selama ini dianggap sebagai produk Barat yang telah gagal, oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik. Dengan kata lain, islamisasi peraturan daerah perlu diwujudkan.
Padahal, jika melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[31] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan permasalahan karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berbeda-beda.
Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya, seperti seringnya menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik.[32]
Diskursus politik Islam dalam dua sejarah, baik Orde Baru maupun era Reformasi (pasca Soeharto) ditandai dengan adanya perubahan besar secara institusional maupun dalam bentuk pemikiran, telah memberi gambaran ketidakharmonisan sebuah hubungan. Di rezim Soeharto, hubungan politik ditandai oleh permusuhan timbal-balik. Adanya antagonisme politik antara Islam dan negara antara lain disebabkan oleh idealisme dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik dan formalistik. Dengan demikian, substansi politik yang dikonseptualisasikan dalam konstruk kesatuan nasional negara Pancasila sebagai ideologinya, dipandang sebagai tatanan politik sekuler.
Sedangkan wacana politik Islam pasca Orde Baru merupakan sebuah babakan baru perjalanan sejarah setelah dalam beberapa dasawarsa mengalami eksperimentasi politik. Politik Islam pasca Orde Baru bukan merupakan “daur ulang” politik masa lampau, dalam pengertian muatan pembentukan pemerintahan Islam, tetapi berakar dari pilihan intelektual setelah mengalami intellectual exercise. Politik Islam di Indonesia tampak sedang mengarah pada upaya untuk melakukan sintesis antara tradisi pemikiran politik yang simbolis dengan yang substansialis. Yang ingin dikedepankan politik Islam pasca Orde Baru ini bukan keinginan untuk mewujudkan cita-cita lama, yakni mewujudkan Islam sebagai dasar negara, tetapi keinginan untuk mewujudkan prinsip-prinsip politik yang tertera dalam al-Qur’an. Demikianlah tansformasi perubahan artikulasi (institusional dan pemikiran keagamaan) Islam politik di Indonesia dalam dua sejarah.
Sedangkan, mensinergikan ideologi-ideologi partai (nasionalis-agamis) dengan cara memahami ulang hal-hal yang dianggap sebagai atau menjadi pembeda ideologi, diharapkan menjadi pokok penting penelitian kedepan, mengingat jika melihat platform partai nasioanalis yang ternyata juga bermuatan dan sarat akan nilai-nilai Islam dimana tidak pernah ditemukan hal-hal yang berseberangan dan bertentangan dengan ajaran Islam. Denga kata lain, upaya politik yang dilakukan partai-partai yang berideologi Islam dapat dianggap sebagai islamisasi politik. Lebih tepat dapat dikatakan sebagai islamisasi partai.
Referensi
Adnan Amal, Taufik dan Syamu Rizal Panggabean. (2004), Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Alvabet.
Amir, Zainal Abidin. (2003), Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, sdm/litbang kompas resensi.
Effendy, Bahtiar. (1998), Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jakarta: Paramadina.
Hilmy, Masdar. (2007), Muslims’ Approaches to Democracy: Islam and Democracy in Contemporary Indonesia, Journal of Indonesian Islam, Volume 01, No. 01.
Muhtadi, resensi buku bertopik “Potret Islam Politik di Era Reformasi”,www.sinarharapan.co.id.
Mudzakkir, Amin. Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya, http://penelitianku.wordpress.com.
Nasution, Harun. (1979), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, cet. I, Jakarta: UI Press.
Nata, Abudin. (2001), Metodologi Studi Islam, cet. VI, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syamsuddin, M. Din. (1995), The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies Vol. 2, No. 2.
Syamsuddin, M. Din. (1995), Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4.
Suryana, Yayan. Wacana Politik Islam Pasca Orde Baru, http://www.geocities.com.
T.B, M. Rozi, Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January
Tebba, Sudirman. (1993), Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogjakarta: Tiara Wacana.
Umam, Fawaizul. Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, April 2008.
[1]Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh negara dari solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bisa meredakan pertentangan dari iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota yang lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran (Khaldun, 1976: 180) sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata dalam Metodologi Studi Islam: Model Penelitian Politik (2001: 267).
[2]Kuntowijoyo mengatakan,”Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (ummat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama (Kuntowijoyo, 1997: 27). Lihat, Abudin Nata, Metodologi Studi Islam: Eksistensi Politik dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet.VI, 269.
[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), cet. I, 92.
Misalnya, ketika Nabi Muhammad saw berada di Madinah, bukan hanya mempunyai sifat Rasulullah , tetapi juga mempunyai sifat kepala negara. Dan sebagai kepala negara, maka setelah beliau wafat semestinya diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah corak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap pesoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi, wahyu masih dalam proses penurunan (Nata: 2001: 270).
[4]Aliran kedua (‘Ali ‘Abd al-Rāziq dan Thaha Husain) dari tiga aliran yang ditemukan Munawir Sjadzali dalam penelitiannya, berpendirian bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara (Nata, 2001: 275).
‘Ali ‘Abd al-Rāziq (1888-1966) stated in The Caliphate and the Bases of Power that the authority of Muhammad over the believers was authority of apostleship; it had nothing in common with temporal power. The Qur’ān clearly confirms the opinion that the Prophet had no connection with political royalty. The verses of the Holy Book reinforce one another in affirming that the heavenly work of the prophet did not surpass the limits of the message which was completely foreign to the notion of temporal power. “He who obeys the Prophet obeys God. As for those who turn away, we have not sent you to be their guardian.” (Qur’ān 4: 80). “Your people have denied it, though it is the truth. Say, ‘I am not in charge of you.’ For every announcement there is a term, and you will come to know.” (Qur’ān 6: 66-67)
[5]Sebagaimana ditulis oleh Sudirman Tebba dalam Pendahuluan bukunya, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogja: Tiara Wacana, 1993), xv.
[6]Perubahan institusional yang dialami oleh Islam pada masa Orde Baru adalah hancurnya institusi-institusi lama dan munculnya institusi-institusi baru. Perubahan institusi lama ialah terutama fusi partai-partai Islam yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973, kemudian lenyapnya partai Islam setelah PPP mengganti asasnya, Islam dengan Pancasila dalam muktamarnya tahun 1984. Sedangkan pemunculan institusi baru ditandai antara lain dengan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975, lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1990 dan Bank Muammalat Indonesia (BMI) tahun 1991 (Tebba: 1993: xv).
[7]Dibidang pemikiran selama Orde Baru, Islam juga banyak mengalami perubahan, baik pada pemikiran klasik maupun munculnya pemikiran modern. Pemikiran klasik ini meliputi fikih (hukum Islam), teologi, tasawuf (mistism), dan timbulnya upaya untuk mendalami filsafat. Sedang perbahan pemikiran modern terlihat pada munculnya ilmu pengetahuan Islam dalam ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosiologi, antropologi, dan psikologi, serta bidang-bidang pemikiran yang terkait dengan ilmu pengetahuan social dan kemanusiaan. Tebba, Ibid.,
Berkembangnya intelektualisme Islam baru di Indonesia selama dua dekade terakhir dapat dianggap berawal dari krisis, dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi politik Islam yang kurang menguntungkan dan akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya terhadap para pemikir dan aktifisnya. Situasi yang tidak menggembirakan ini muncul terutama, meskipun tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sintesa sosio-kultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 115.
[8]Upaya pemerintah Orde Baru dalam memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, diwujudkan dengan adanya pernyataan kelompok militer bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (sebuah gerakan Islam fanatik-yang paling kuat pada tahun 1950-an dan memperoleh basis dukungannya di Jawa Barat-yang berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata) dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia (Samson, Asian Survey, No. 12, Vol. VII, 1968: 1005), sebagaimana dikutip oleh Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 112.
Dan bahkan, pada awal 1967, Soeharto sendiri menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai (Masyumi) itu.” (Crouch, 1981: 201), lihat Effendy, Ibid.,
Hasil pemilihan umum 1971, menunjukkan kekuatan Islam politik merosot. Ini sebagian disebabkan karena, lewat langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai-partai Islam” (Crouch, 1981: 202). Dalam pemilihan umum tersebut, pemerintah menggunakan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai mesin pemilihannya. Lihat, Effendy, Ibid., 116.
Obsesi meraih kemenangan mutlak diseluruh wilayah Indonesia telah mengakibatkan pemerintah Orde Baru menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum. Angkatan bersenjata dan birokrasi menjadi tulang punggung Golkar. Melalui keputusannya yang tidak populer, Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri), mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen 12/1929) yang dimaksudkan untuk ‘memurnikan’ wakil-wakil Golkar di badan-badan legislatif tingkat provinsi dan lokal. Peraturan itu menyebutkan bahwa seluruh anggota kelompok-kelompok fungsional yang ditugaskan di badan-badan pemerintahan di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai-partai politik seperti: PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, dan lain sebagainya (E. Ward, Monash Paper on Southeast Asia No. 2, 1974), lihat, Effendy, Ibid., 117.
Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar rasa putus asa masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil-wakil Islam dalam parlemen. Tetapi hal itu juga tampak dalam komposisi kabinet baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam tertentu benar-benar mulai dibatasi dan konstruk lama partai-partai Islam, khususnya dalam wadah politik (yakni partai Islam), memudar ketika pemerintah Orde baru melakukan rekonstrukturisasi sistem kepartaian pada Januari 1973 (Effendy, 1998: 118).
Kekecewaan masyarakat Muslim terhadap negara juga diperkuat oleh sejumlah kebijakan pemerintah yang dipandang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pada tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru, para pemimpin Muslim khususnya merasa tersinggung kepada Ali Sadikin (Gubernur DKI) yang membolehkan perjudian (Effendy, 1998: 119), Kebijakan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan pemasukan dana pemerintah DKI Jakarta (Vander Kroef, 1971: 57).
Serangan pemerintah Orde Baru paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya, berlangsung pada tahun 1983. Terlepas dari upaya besar-besaran pemerintah Orde Baru untuk mensosialisasikan Pancasila, pemerintah percaya bahwa kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu masih diragukan komitmennya kepada ideologi negara. Dalam pandangan presiden Soeharto, “mereka tidak meyakini Pancasila seratus persen.’ (Kompas, 8 April 1980). Bahkan, ia mengingatkan bahwa ada kelompok-kelompok yang ingin mengubah Pancasila (Jenkins, 1984: 158). Lihat, Effendy (1998: 121).
Desakan ideologi Pancasila memaksa PPP dalam kongresnya Agustus 1984, mengganti Islam dengan Pancasila sebagai dasar ideologinya. Sebelum pemilihan umum 1987, PPP juga mengubah simbolnya, dari Ka’bah menjadi Bintang (salah satu simbol Pancasila (Tamara, Prisma, No. 51, 1988: 49). Lihat, Effendy, Ibid.,
Undang-undang keormasan dikeluarkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1985, organisasi-organisasi mahasiswa dan sosial-keagamaan Islam seperti: NU, Muhammadiyah, MUI, HMI, PMII, harus menerima Pancasila sebagai asas organisasi mereka (Harun, 1986 , Harun dan Mulkhan, 1987, Effendy, tth: 58-128). Lihat, Effendy, Ibid., 122.
Perkembangan politik pemerintah Orde Baru sangat mengecewakan sebagaian besar masyarakat Muslim Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, tetapi bahkan-hingga tahap tertentu-diskursus politik negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa mayoritas penduduknya Muslim. Maka bisa dipahami jika banyak dari mereka yang melihat politik pengasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan deolitisasi terhadap Islam (Tempo, 29 Desember 1984: 12-16). Lihat, Effendy, Ibid.
[9]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993), xvii.
[10]M. Din Syamsuddin, The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 2, 1995.
[11]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993), xvii.
[12]Tebba, Ibid., xviii.
[13] Suharto is considered to have failed in building the infrastructures of democracy, and even he has abused democracy through his authoritarian power. He has masked his authoritarianism by means of what his regime called “Demokrasi Pancasila,” assuming a full-fledged combination between democracy and Indonesian values as embedded in Pancasila principles. Pancasila had been a single lethal mantra of his regime to crush any type of political resistance and opposition. Through this concept, Suharto introduce the principle of “mono-loyalty” (asas mono loyalitas) among Indonesian citizens. Suharto never has hesitated to arrest those who showed unwillingness to fuse into his regime and send them into jail. He, systematically wu\ith his regime, would stigmatize all his political opponents as being anti-Pancasila or not Pancasilais. See, Masdar Hilmy, Muslims’ Approaches to Democracy: Islam and Democracy in Contemporary Indonesia, Journal of Indonesian Islam, Volume 01, No. 01, June 2007.
[14]Pembicaraan kesenjangan sosial dan polarisasi sosial telah ikut mendorong pengembangan pemikiran keagamaan dan politik Islam di Indonesia. Misalnya pemopuleran istilah dhu’afā dan mustadh’afīn untuk menghindari penggunaan istilah kelas tertindas dalam analisis sosial umat (Tebba, 1993: xviii-xix).
[15]Tebba, Ibid.,
[16]Dalam dinamika dari waktu ke waktu, dari kemerdekaan sampai penghujung Orde Baru, Islam politik di Indonesia penuh warna-warni dan kisah perlawanan sekaligus yang selalu terkalahkan: lihat Islam politik di zaman masa kejayaan rezim otoriter Orde Baru merupakan kisah yang selalu mengalami proses marjinalisasi dari ruang politik. Lihat, Muhtadi dalam resensi buku bertopik “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.
[17]Partai Islam pasca-Soeharto mengalami polarisasi yang sangat tinggi, tercerai-berai menjadi 35 partai. Namun, secara garis besar kekuatan politik Islam dapat dikelompokan menjadi tiga faksi besar. Faksi pertama adalah kelompok Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Faksi kedua adalah berbentuk jaringan yang agak longgar dari individu-individu yang mempunyai koneksi sangat kuat dan mengendalikan berbagai posisi krusial di sektor birokrasi, bisnis, dan masyarakat. Mereka adalah mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian berkumpul dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Faksi ketiga yaitu massa Muslim terbesar dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sebagian besar warganya berasal dari kelas menengah ke bawah (sdm/litbang kompas). Lihat, resensi buku: Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I (16 Agustus 2003 kompas.com).
[18]M. Din Syamsuddin, Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4, 1995.
[19]M. Rozi T.B, Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January 2003.
[20]Sebagaimana disampaikan Basri Zain dalam Islamisme Global dan Masa Depan Indonesia: Tantangan atau Harapan? di Seminar Internasional: Indonesia 2009-2014 Prespektif Sosial Budaya dan Politik, 17 Juni 2009.
[21]Yayan Suryana, Wacana Politik Islam Pasca Orde Baru, http://www.geocities.com.
[22]Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, 2.
[23]M. Din Syamsuddin, Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 2, No. 4, 1995.
[24]Fragmentasi politik, yang ditandai banyak partai politik yang didirikan elit politik Islam, bagi Kuntowijoyo, merupakan sesuatu yang kontraproduktif bagi terbentuknya ukkhuwah islamiyah dan membangun kesejahteraan bagi umat Islam. Lihat, Muhtadi dalam resensi “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.
[25]Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, 3.
[26]Muhtadi dalam resensi “Potret Islam Politik di Era Reformasi”, http://www.sinarharapan.co.id.
[27]M. Rozi T.B, Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya, Pusat Kajian Islam, http://www.alislamu.com, 17 January 2003.
[28]Yudi Helmi dalam situs pribadinya, Muhammadiyah, NU, dan Gerakan Transnasional, 19 Mei 2007.
[29]Lihat Ahmad Syafii Maarif ,Prologue: Masa Depan Islam di Indonesia dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Desantara Utama Media, 2009), 7.
[30]Sepanjang 2007, kekerasan atas nama agama tiada berkesudahan; eskalasinya bahkan memuncak. Mengutip laporan SETARA (Institute for Democracy and Peace), ditahun 2007 sekurangnya ada 185 tindak pelanggran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus terbanyak dialami al-Qiyadah (Ahmad Moshaddeq); 68 kasus berupa pelanggaran, kekerasan, penangkapan dan penahanan. 28 kasus pelanggaran terhadap umat Katolik dan Kristen dan Ahmadiyah mengalami 21 kasus kekerasan. Menurut SETARA, pelakunya adalah pemerintah. 92 pelanggaran dilakukan dalam bentuk penangkapan, pembatasan, penahanan, dan vonis terhadap mereka yang dianggap sesat. Sedangkan 93 bentuk pelanggaran lainnya karena negara membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, seperti Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Indonesian Conference on Religion and Peace (IRCP) mengungkap bahwa korban kekerasan atas nama agama lebih banyak menimpa kelompok dari pada individu. ICRP sendiri menghitung, sepanjang 2007, terdapat 32 kelompok yang menjadi korban kekerasan atas nama agama. Lihat, Fawaizul Umam, Membakar Massa dengan Fatwa, Newsletter, CRCS, April 2008.
[31]Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), 98.
[32] Sebagaimana yang telah dipresentasikan oleh Amin Mudzakkir, Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya, di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang / Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara”. Salatiga, 15-18 Juli 2008.